Kamis, 22 Februari 2018

Malu


Salah satu sifat yang dapat dijadikan barometer untuk mengukur kualitas keimanan seseorang adalah malu. Semakin kuat keimanan seseorang kepada Allah Swt., semakin besar pula sifat malu yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang kepada Allah Swt., semakin kecil pula sifat malu yang dimilikinya. 

Iman dan malu laksana dua sisi mata uang yang tidak bisa di pisahkan, seperti sabda Rasulullah Saw., "Iman dan malu keduanya adalah dua sejoli, jika salah satu dari keduanya hilang, maka akan hilang pula pasangannya" (HR Al-Hakim). 

Sifat malu, yang dalam bahasa arab di sebut dengan al-haya, adalah sifat yang mampu menjaga pemiliknya dari perbuatan-perbuatan yang dapat menghinakan dirinya dari Allah Swt., orang lain, atau dirinya sendiri. Orang yang mempunyai sifat malu tidak akan membiarkan dirinya melakukan perbuatan-perbuatan yang menjerumuskannya kepada jurang kehinaan. 

Maraknya perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa pada dasarnya di sebabkan oleh hilangnya sifat malu dari para pelakunya. 

Kata al-haya, yang berarti malu berasal dari kata hayat, yang berarti hidup. al-haya termasuk dalam perbuatan-perbuatan hati "af'al al-qulub" artinya semakin hidup hati seseorang semakin besar sifat malu pada dirinya; dan orang yang hatinya telah mati tidak akan pernah merasa malu untuk berbuat maksiat dan dosa.

Orang yang paling sempurna hidupnya adalah orang yang paling sempurna sifat malunya. Hidup seseorang akan sangat bernilai jika ia mampu menumbuhkan sikap malu dalam hatinya. 

Tingkatan paling tinggi dari sifat malu adalah sifat malu pada diri seorang hamba kepada Allah Swt. Bentuk dari sifat malu itu adalah sebagai berikut :

Pertama, seorang hamba harus merasa malu dihadapan Allah Swt., jika ia melakukan dosa dan maksiat kepada Allah Swt. 

Kedua seorang hamba harus merasa malu di hadapan Allah Swt., jika ia tidak maksimal beribadah kepada Allah Swt. 

Ketiga, seorang hamba harus merasa malu dihadapan Allah Swt., jika ia tidak mampu bersyukur atas nikmat yang banyak dari Allah Swt., dan tidak mampu mendayagunakannya sesuai dengan kehendak Allah Swt., 

Keempat, seorang hamba harus malu di hadapan Allah Swt., Ketika ia mentaati perintah Allah Swt., dan tidak membangkang kepadanya seperti ketika Rasulullah Saw., merasa malu memohon kepada Allah Swt., untuk mengubah qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah padahal beliau menginginkan Ka'bah sebagai kiblat muslim.

(Masjid Qiblatain/ Bani Salamah - Madinah)
Akhirnya sebuah peristiwa itu terjadi pada tahun ke-2 Hijriyah, hari Senin bulan Rajab waktu dhuhur di Masjid Bani Salamah ini. Ketika itu Rasulullah SAW tengah sholat dengan menghadap ke arah Masjidil Aqsha. Di tengah sholat, tiba-tiba turunlah wahyu surat Al-Baqarah ayat 144, tentang perintah Allah mengubah arah qiblat ke Ka'bah.

Kelima, seorang hamba harus merasa malu kepada Allah Swt., ketika ia mencintai Allah Swt., Seorang hamba akan menangis ketika ia malu kepada Allah Swt., dan seluruh anggota tubuhnya akan runduk kepada perintah Allah Swt., 

Sebagai hamba Allah Swt., sepantasnyalah kita melakukan introspeksi diri, sudahkah kita memiliki sifat malu seperti di atas? 

Seberapa benarkah rasa malu kita kepada Allah Swt.,? Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang tanpa rasa malu melakukan perbuatan maksiat dan dosa kepada Allah Swt. 

Wallahu a'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar