Pertanyaan:
Assalamualikum Wr. Wb.
Alhamdulillah sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, hampir setiap tahunnya, pelaksanaan puasa dan lebaran selalu selalu berbeda dengan pendapat golongan masing-masing. Yang menjadi pertanyaan saya ustadz, lebih kuat mana menentukan lebaran antara berdasarkan hisab atau ru'yat menurut syari'at dan fatwa ulama'? Atas jawabannya saya haturkan Jazakumullah.
Abdul Azis- Surabaya
Jawaban:
Waalaikumusalam Wr. Wb.
Akhi Abdul Azis yang dimuliakan Allah SWT, berdasarkan hadits shahih bahwa menentukan masuknya bulan Ramadlan atau Syawal yaitu dengan salah satu dari tiga cara:
1. Ru'yatul hilal bil fil'li (melihat bulan secara langsung) Ini pendapat ulama' salaf dan dikerjakan langsung oleh para sahabat atas perintah Rasulullah SAW, sesuai beberapa hadits, diantaranya; hadits shahih riwayat Abu Daud dan Daruquthni dari Ibnu Umar beliau berkata, "Para manusia sama-sama melihat bulan, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah berpuasa dan menyuruh seluruh kaum muslimin agar berpuasa."
2. Istikmal (menyempurnakan 30 hari) Hal ini dilakukan jika pada tanggal 29 bulan tidak dapat dilihat karena mendung atau lainnya. Sesuai hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Puasalah karena melihat bulan dan berbukalah (berlebaran-lah) karena melihat bulan, kalau mendung bagi kamu sekalian maka sempurnakanlah hitungan Sya'ban 30 hari."
(HR. Muttafaq 'Alaih )
3. al-Hisab al-Falakiyah al-Qoth'i (melalui perhitungan dengan ilmu falak yang pasti dan akurat) Ini adalah pendapat ulama' mutaakkhirin di antaranya, Sayid Rasyid Ridlo menjelaskan tentang tafsir ayat puasa dalam majalah 'al-Manar', Syeikh Mushthafa al Zargo dan Syeikh Ahmad Muhammad Syakr, beliau menjawab pertanyaan, 'Apakah boleh menurut syari'at menetapkan awal bulan Hijriah berdasarkan hisab?' Kesimpulan dari jawabannya, boleh karena kaum muslimin berdasarkan ru'yah itu ketika mereka dalamkeadaan buta huruf (ummiyah) tetapi setelah berubah dan kaum muslimin sudah banyak yang bisa menulis dan menghitung dengan baik maka boleh menentukan awal bulan Ramadlan dan Syawal dengan perhitungan ilmiah yang akurat. (DR. Yusuf al-Qordlowi, Fiqh al-Shiyam: 23 - 26)
2. Istikmal (menyempurnakan 30 hari) Hal ini dilakukan jika pada tanggal 29 bulan tidak dapat dilihat karena mendung atau lainnya. Sesuai hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Puasalah karena melihat bulan dan berbukalah (berlebaran-lah) karena melihat bulan, kalau mendung bagi kamu sekalian maka sempurnakanlah hitungan Sya'ban 30 hari."
(HR. Muttafaq 'Alaih )
3. al-Hisab al-Falakiyah al-Qoth'i (melalui perhitungan dengan ilmu falak yang pasti dan akurat) Ini adalah pendapat ulama' mutaakkhirin di antaranya, Sayid Rasyid Ridlo menjelaskan tentang tafsir ayat puasa dalam majalah 'al-Manar', Syeikh Mushthafa al Zargo dan Syeikh Ahmad Muhammad Syakr, beliau menjawab pertanyaan, 'Apakah boleh menurut syari'at menetapkan awal bulan Hijriah berdasarkan hisab?' Kesimpulan dari jawabannya, boleh karena kaum muslimin berdasarkan ru'yah itu ketika mereka dalamkeadaan buta huruf (ummiyah) tetapi setelah berubah dan kaum muslimin sudah banyak yang bisa menulis dan menghitung dengan baik maka boleh menentukan awal bulan Ramadlan dan Syawal dengan perhitungan ilmiah yang akurat. (DR. Yusuf al-Qordlowi, Fiqh al-Shiyam: 23 - 26)
Akhi Abdul Aziz yang saya hormati, menentukan masuknya bulan Ramadlan atau Syawal itu memang ada tiga cara, dengan cara ru'yatul hilal, istikmal dan hisab. Mana yang lebih kuat? Yang lebih kuat, menurut penulis, adalah dengan cara 'ru'yatul hilal bil fi'li', sedangkan hisab hanya sebagai penunjang, yang akhirnya hasil hisab harus dikonfrontir dengan hasil ru'yat, dan jika tidak sama maka harus didahulukan ru'yat.
Hal ini berdasarkan apa yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat waktu itu tidak pernah menentukan awal Ramadlan dan Syawal dengan hisab tetapi selalu dengan ru'yat.
Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab
al-Majmu': 6/270, "Barangsiapa yang berkata dengan hisab itu ditolak. Berdasarkan sabda Nabi 'Kami ummat yang tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca."
Berikut ini penulis lampirkan hasil seminar
tentang hilal, waktu dan teknologi falakiyah, yang diselenggarakan di Kuwait pada tanggal 21-23 Rajab 1409 H/ 27 Januari 1 Februari 1929 M, atas prakarsa Forum Study Ilmiah Kuwait dan Yayasan Kemajuan ilmiah Kuwait. Dalam seminar itu dihadiri oleh ahli fiqh dari ahli falak dari negara-negara Arab yaitu Yordania, Emirat Arab, Jazair, Arab Saudi, Sudan, Oman Palestina, Oatar, Kuwait, Mesir Maroko, Yaman, dan Forum Study Fiqh di Jeddah. Seminar itu menghasilkan beberapa rekomendasi di antaranya: "Ru'yatul hilal itulah yang asal dalam menentukan masuknya bulan dan dibantu dengan hisab falaky dalam menentukan bulan dengan ruyat, demikian itu dengan memperhatikan batas kondisi ru'yah dalam masalah hari, jam, arah dan letak bulan. Tetapi 'tidak cukup dengan hisab' dalam itsbat (menetapkan hilal) bahkan harus dengan kesaksian yang diterima (syahadah mu'tabarah) atas ru'yat Maka jika hisab menunjukkan kemungkinan ru'yat dan tidak ada penghalang secara falakiyah, namun bulan tidak dapat dilihat maka harus menyempurnakan 30 hari."
Wallahu a'lam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar