Minggu, 21 Oktober 2018

Almarhum Gus Cecep pernah menunjukkan kepada saya buku catatan milik sang ayah, KH. Abdul Karim Hasyim (1901-1972) putra Hadlratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (1871-1947).

Buku berukuran saku tanpa nomor halaman itu memuat banyak informasi. Ada catatan tentang keilmuan, syair, nasab, agenda, draft surat, dan doa ilmu hikmah. Bahasa Arab menempati posisi paling banyak dalam buku catatan tersebut, disusul bahasa Jawa dan Indonesia.

Yang menarik untuk diulas, ada catatan Kiai Karim tentang doa hikmah yang ditulisnya dengan aksara Pegon, berbahasa Jawa, dan dibubuhi kutipan ayat-ayat Alquran. Begini salinannya, saya pribadi kurang yakin penyalinan ini benar, mohon dikoreksi:

“Bismillahirrahmanirrahim
SangHyang Handaru putih aran ratune bumi ingsun nitip tanduran ingsun, barang ingsun, awak ingsun, lamun ngapek barangku cupanana patenana, kullu nafsin dzaiqatul maut, hawwin ‘alayna ya dzal jalal wal ikram. Syekh Bujang, Syekh Lara Ala kang anduweni kasakit biru. Sapa2 sing ngapek barangku iku panganan sira, geteh, daging sing ala atine maring aku. Malaikat Abu Janiyah panerapaken kembang siluang, incuk2, incek matana sing arep ala maring aku.

Alam tara ilalladzina kharaju min diyarihim fahum ulufun hadzaral maut.

Santri kang ngereksa tegal; macan putih, sapa amburu macan putih ula putih, sapa amburu ula putih celeng putih, sapa amburu celeng putih wong pangereksa tegal. Pak Irsyad dipa, Pak Salman Pak Sakram.”

Tampaknya mantra atau jimat ini digunakan beliau untuk mejaga sawah pesantren. Di akhir tulisan juga tertulis santri-santri yang menjaganya. Pertanyaannya kemudian, Siapa dan apa maksud ‘SangHyang Handaru Putih’ di doa tersebut?

Wallahu a’lam. Kalimat itu cukup asing, minimal dalam pembendaharaan bahasa Jawa saya. Lebih mirip kosakata Jawa Hindu. Tapi memang diakui, nuansa Hindu-Buddha sebagai agama pra-Islam di Jawa memiliki pengaruh yang besar. Asimilasi dan akulturasi budaya pasti terjadi saat keduanya bersentuhan.

P. J. Zoetmulder dalam “Pantheisme en monisme in de Javaansche Soeloek-Littertuur” (1990) menuturkan, Sastra Suluk yang merepresentasikan kepercayaan Islam di Jawa, lebih banyak menampilkan kepercayaan Jawa dan pengaruh pra-Islam daripada ajaran Islam itu sendiri.

Asumsi saya, SangHyang Handaru Putih tak lain ya Tuhan Sang Pencipta itu, hanya saja dengan sebutan nama lain. Seperti dalam Islam dikenal Asmaul Husna sebagai 99 nama indah Allah, pun demikian masyarakat Jawa memiliki banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dengan bahasanya.

Well, Islam hadir di muka bumi bukan untuk memberangus budaya, tradisi, dan bahasa yang sudah ada namun hanya meluruskan dan memperindah saja—peran inilah yang kemudian dianjutkan oleh pesantren.

Tradisi sedekah laut, misalnya, ada yang mengklaim syirik tidak sesuai syariat harus dihapus. Hallah, gitu aja geger. Tinggal niatnya saja yang diubah. Jika semula sedekah untuk para penunggu laut, maka orang-orang pesantren berniat sedekah kepada makhluk yang ada di laut; ikan-cumi-dkk, sebagai rasa syukur kepada Allah.

Ibarat orang yang sudah memiliki istri namun terlihat kusut, bukan istrinya yang diganti, tapi kekusutannya itulah yang harus didandani. Duh, kok melebar. Selamat malam Minggu deh…

Alfaqir: atunk.
Jakarta, 20 Oktober 2018

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10212907893393439&id=1273371223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar