Jumat, 02 Februari 2018

Melaksanakan Tahlilan Sampai Berutang, Apa Hukumnya?



Pertanyaan
Assalamualaikum wr. wb.
Dewan redaksi yang terhormat, mohon agar dijelaskan secara rinci tentang dalil-dalil tahlilan serta mohon dijelaskan bagaimana hukumnya melaksanakan tahlilan dengan menyuguhkan makanan pada jamaah jika dananya berasal dari utang? Mengingat sering terjadi pihak keluarga yang ditinggalkan memaksakan diri sampai berutang demi melaksanakan tahlilan karena takut akan menjadi pergunjingan warga jika tidak melaksanakannya. Wassalamualaikum wr. wb. (Muhammad Royani Shodiq, Brebes)

Jawaban
Assalamualaikum wr. wb.
Saudara Muhammad Royani dan para pembaca yang budiman, terima kasih atas pertanyaan yang diajukan. Persoalan tahlilan khas tradisi NU dengan segala problematikanya memang perlu sekali untuk dikaji bersama dengan memberikan pemahaman bagi kita semua, khususnya para jamaah Nahdliyyin.

Para pembaca yang budiman, menyesuaikan dengan pertanyaan yang masuk, dalam pemaparan kali ini kami akan lebih menitikberatkan pada persoalan “penyuguhan makanan pada saat talilan”, bukan membahas dalil tahlilan itu sendiri, yang sudah pernah dibahas oleh dewan redaksi.

Pada prinsipnya, penyuguhan makanan yang dilakukan pada saat tahlilan adalah bagian dari bersedekah yang kita tahu pahalanya bisa sampai kepada mayit. Hal ini senada dengan hadits yang tertera dalam Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 2010), juz III, hal. 1255, hadits no. 1631:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ 

Artinya: “Apabila seorang manusia telah meninggal, maka terputus baginya semua amalnya, kecuali dari tiga hal: kecuali dari sedekah yang berkelanjutan, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”

Keterangan hadits di atas ditambah pula dengan keterangan pada hadits shahih lainnya, yakni:

عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ لِيْ مَخْزَفًا فَأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا. رواه الترمذي

Artinya: “Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, ‘Ya’. Laki-laki itu berkata, ‘Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku’.” (HR Tirimidzi)

Selanjutnya, masalah tradisi di Indonesia yang melakukan tahlilan dengan menyediakan jamuan makan selama 7 hari (jawa: mitung dina), hal tersebut hukumnya bukanlah bid’ah, namun justru sunnah sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), juz II, hal. 178:

قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

Artinya: “Telah berkata Imam Thawus (ulama besar generasi tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H/729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”

Meskipun demikian, sekali lagi kita harus mengingat bahwa bersedekah dengan mengadakan jamuan makan pada saat tahlilan itu hukumnya adalah sunnah belaka. Bukan wajib. Oleh karena itu, tidak boleh memaksakan diri. 

Dalam pandangan syariat, niat baik melakukan kesunnahan ini bisa menjadi makruh, bahkan bisa menjadi haram, jika dilaksanakan tidak sesuai dengan konteks. Demikian pula halnya dengan jamuan makan pada saat tahlilan akan menjadi makruh hukumnya apabila dirasa hal tersebut memberatkan bagi ahli waris mayit hingga mereka sampai berutang hanya untuk mengadakan jamuan makan tersebut. Bahkan bisa juga menjadi haram semisal apabila jamuan makan yang diberikan berasal dari harta yang haram, membuat utang-utang mayit tidak terbayarkan, atau menyita harta waris yang seharusnya dipertuntukkan bagi anak yatim.

Solusi yang kami tawarkan kepada para pembaca yang budiman apabila terjadi kasus yang demikian adalah seyogianya yang mengadakan tahlilan cukup anggota keluarga saja, tidak perlu terlalu banyak mengundang pihak-pihak lain apabila dirasa berat untuk memberikan jamuan kepada mereka.

Mengenai risiko akan dijadikan bahan gunjingan oleh masyarakat, inilah tugas kita bersama untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait hal ini sehingga jangan sampai kesunnahan tahlilan yang sudah membudaya ini malah menjadi persoalan yang memberatkan bagi sebagian pihak.

Pada dasarnya, syariat Islam memandang keluarga yang ditinggalkan sebagai pihak yang lemah (dlaif) karena sedang berduka, yang oleh karena itu disunnahkan bagi kerabat dan tetangganya untuk menghidangkan makanan bagi keluarga mayit, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), juz I, hal. 387:

وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن قد جاءهم أمر يشغلهم

Artinya: “Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat mengenyangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan’.”

Dalam tradisi Nusantara, pernyataan Imam Syafi’i ini sudah dilaksanakan. Hal tersebut bisa kita lihat pada budaya di Nusantara di mana ketika ada berita duka, maka umumnya kerabat atau para tetangga bertakziah sambil membawa beras (makanan pokok) yang diperuntukkan bagi pihak keluarga yang sedang berduka.

Demikian pemaparan kali ini, semoga bisa dipahami dengan baik. Wallahu a’lam bi-shawab.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq 
Wassalamu 'alaikum wr. wb.

(Muhammad Ibnu Sahroji)
Sumber : Bahtsul Massail NU on line

Tidak ada komentar:

Posting Komentar