Pertanyaan
Assalamualaikum wr. wb.
Dewan
redaksi yang terhormat, mohon agar dijelaskan secara rinci tentang
dalil-dalil tahlilan serta mohon dijelaskan bagaimana hukumnya
melaksanakan tahlilan dengan menyuguhkan makanan pada jamaah jika
dananya berasal dari utang? Mengingat sering terjadi pihak keluarga yang
ditinggalkan memaksakan diri sampai berutang demi melaksanakan tahlilan
karena takut akan menjadi pergunjingan warga jika tidak
melaksanakannya. Wassalamualaikum wr. wb. (Muhammad Royani Shodiq, Brebes)
Jawaban
Assalamualaikum wr. wb.
Saudara
Muhammad Royani dan para pembaca yang budiman, terima kasih atas
pertanyaan yang diajukan. Persoalan tahlilan khas tradisi NU dengan
segala problematikanya memang perlu sekali untuk dikaji bersama dengan
memberikan pemahaman bagi kita semua, khususnya para jamaah Nahdliyyin.
Para
pembaca yang budiman, menyesuaikan dengan pertanyaan yang masuk, dalam
pemaparan kali ini kami akan lebih menitikberatkan pada persoalan
“penyuguhan makanan pada saat talilan”, bukan membahas dalil tahlilan
itu sendiri, yang sudah pernah dibahas oleh dewan redaksi.
Pada
prinsipnya, penyuguhan makanan yang dilakukan pada saat tahlilan adalah
bagian dari bersedekah yang kita tahu pahalanya bisa sampai kepada
mayit. Hal ini senada dengan hadits yang tertera dalam Sahih Muslim
(Beirut: Dar Ihya al-Turats, 2010), juz III, hal. 1255, hadits no. 1631:
إِذَا
مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ:
إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya:
“Apabila seorang manusia telah meninggal, maka terputus baginya semua
amalnya, kecuali dari tiga hal: kecuali dari sedekah yang berkelanjutan,
ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
Keterangan hadits di atas ditambah pula dengan keterangan pada hadits shahih lainnya, yakni:
عَنْ
بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي
تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ
فَإنَّ لِيْ مَخْزَفًا فَأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا.
رواه الترمذي
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, ‘Wahai
Rasulullah SAW, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada
manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, ‘Ya’.
Laki-laki itu berkata, ‘Aku memiliki sebidang kebun, maka aku
mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas
nama ibuku’.” (HR Tirimidzi)
Selanjutnya,
masalah tradisi di Indonesia yang melakukan tahlilan dengan menyediakan
jamuan makan selama 7 hari (jawa: mitung dina), hal tersebut hukumnya
bukanlah bid’ah, namun justru sunnah sebagaimana disebutkan oleh Imam
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), juz II, hal. 178:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال
طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك
الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد
الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن
سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن
يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
“Telah berkata Imam Thawus (ulama besar generasi tabi’in, wafat
kira-kira tahun 110 H/729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal
akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka,
disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan
(sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari
tersebut.”
Meskipun demikian, sekali lagi kita
harus mengingat bahwa bersedekah dengan mengadakan jamuan makan pada
saat tahlilan itu hukumnya adalah sunnah belaka. Bukan wajib. Oleh
karena itu, tidak boleh memaksakan diri.
Dalam
pandangan syariat, niat baik melakukan kesunnahan ini bisa menjadi
makruh, bahkan bisa menjadi haram, jika dilaksanakan tidak sesuai dengan
konteks. Demikian pula halnya dengan jamuan makan pada saat tahlilan
akan menjadi makruh hukumnya apabila dirasa hal tersebut memberatkan
bagi ahli waris mayit hingga mereka sampai berutang hanya untuk
mengadakan jamuan makan tersebut. Bahkan bisa juga menjadi haram semisal
apabila jamuan makan yang diberikan berasal dari harta yang haram,
membuat utang-utang mayit tidak terbayarkan, atau menyita harta waris
yang seharusnya dipertuntukkan bagi anak yatim.
Solusi
yang kami tawarkan kepada para pembaca yang budiman apabila terjadi
kasus yang demikian adalah seyogianya yang mengadakan tahlilan cukup
anggota keluarga saja, tidak perlu terlalu banyak mengundang pihak-pihak
lain apabila dirasa berat untuk memberikan jamuan kepada mereka.
Mengenai
risiko akan dijadikan bahan gunjingan oleh masyarakat, inilah tugas
kita bersama untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait hal ini
sehingga jangan sampai kesunnahan tahlilan yang sudah membudaya ini
malah menjadi persoalan yang memberatkan bagi sebagian pihak.
Pada
dasarnya, syariat Islam memandang keluarga yang ditinggalkan sebagai
pihak yang lemah (dlaif) karena sedang berduka, yang oleh karena itu
disunnahkan bagi kerabat dan tetangganya untuk menghidangkan makanan
bagi keluarga mayit, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam
kitab al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), juz I, hal. 387:
وأحب
لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما
يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما
جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن
قد جاءهم أمر يشغلهم
Artinya:
“Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat
makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya
yang dapat mengenyangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan
yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi
kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Buatkanlah makanan untuk
keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang
menyibukkan’.”
Dalam tradisi Nusantara,
pernyataan Imam Syafi’i ini sudah dilaksanakan. Hal tersebut bisa kita
lihat pada budaya di Nusantara di mana ketika ada berita duka, maka
umumnya kerabat atau para tetangga bertakziah sambil membawa beras
(makanan pokok) yang diperuntukkan bagi pihak keluarga yang sedang
berduka.
Demikian pemaparan kali ini, semoga bisa dipahami dengan baik. Wallahu a’lam bi-shawab.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu 'alaikum wr. wb.
(Muhammad Ibnu Sahroji)
Sumber : Bahtsul Massail NU on line
Tidak ada komentar:
Posting Komentar