Sabtu, 31 Maret 2018

ISTIQOMAH


Seorang sahabat, Abu Amr bin Abdullah r.a, pernah meminta kepada Rasulullah Saw., "Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku kalimat yang menyimpulkan pengertian Islam, sehingga saya tidak membutuhkan bertanya lagi kepada seorangpun selain engkau," Nabi Saw, menjawab, "Katakanlah, 'aku beriman kepada Allah Swt', kemudian tetap beristiqamahlah," (HR Muslim). 

Istiqomah adalah sikap teguh pendirian dalam ketauhidan dan secara konsisten tetap beramal shaleh. Istiqomah dapat pula diartikan lurus dalam berpegang pada prinsip keimanan. Tidak plin-plan atau mencla-mencle. Perilaku istiqamah tercermin dalam bentuk sejalannya perkataan yang diucapkan dengan perbuatan yang dilaksanakan.
Sejarah Islam mencatat sebuah fragmen sikap Istiqomah yang diperlihatkan oleh sahabat Bilal Bin Rabah r.a, yang dengan ketabahan dan kesabaran mampu bertahan dengan keimanan, walaupun mendapatkan siksaan yang berat sebagai intimidasi agar ia murtad dari agama islam.

Saat ini upaya pemurtadan baik secara tersamar maupun terang-terangan mulai merebak di lingkungan kita. 

Saudara kita yang memiliki keterbatasan ekonomi, tidak memiliki pekerjaan dan pendidikan, menjadi sasaran empuk. Dengan iming-iming terpenuhinya kebutuhan hidup, disediakannya pekerjaan yang layak dan memperoleh pendidikan yang memadai, asal berpindah agama, menjadi fenomena yang umum terjadi di sekitar kita. Bahkan, sampai pada upaya melegalisasi perkawinan beda agama.

Yang diincar adalah pemuda-pemudi Islam yang mudah dipengaruhi oleh kesenangan duniawi sesaat. Keterbatasan semacam ini membuat hati mereka waswas, sedih, dan khawatir tidak memperoleh kebahagiaan hidup. Padahal, sikap Istiqomah membawa kita kepada kemuliaan hidup yang lebih hakiki kelak.

Dalam hal ini, Allah Swt, berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami adalah Allah Swt.', kemudian mereka Istiqomah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, "Janganlah kamu takut dan sedih, dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah Swt. Kepadamu'," (QS Fushshilat [41]:30).

Dan dalam ayat yang lain, Allah Swt, berfirman "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami adalah Allah Swt.', kemudian mereka tetap Istiqomah, maka tidak ada kekhawatiran mereka dan tidak pula bersedih hati. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan," (QS Al-Ahqaf : 12-13).

Oleh karena itu, ada beberapa ikhtiar yang dapat ditempuh untuk memelihara sikap Istiqamah. 

Pertama, senantiasa memperbarui keimanan kita dengan melazimkan mengingat Allah (dzikrullah). Hal ini dapat dilakukan dengan melafalkan kalimat thayyibah.


Kedua, dengan menanamkan semangat kebersamaan dan persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah) agar tumbuh kepedulian kepada saudara kita yang memiliki keterbatasan tadi. Hal ini dapat berbentuk aktivitas yang didasari dengan prinsip saling menasihati dalam menaati kebenaran dan menetapi kesabaran (QS Al-Ashr [103]:3) serta saling berpesan untuk berkasih sayang (QS Al Balad [90]:17).

ketiga, senang mengunjungi majelis ilmu untuk menambah pengetahuan dan wawasan keislaman.

Kamis, 29 Maret 2018

Generasi Qur'ani


Dalam usaha sukses pelaksanaan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) maka dilaksanakan Istighotsah dan doa bersama oleh manajemen SMK Negeri 5 surabaya beserta siswa kelas XII.

Pelaksanaan terasa lebih istimewa karena bersamaan wisuda tahfidz ke-2 yang dilaksanakan di Masjid Darul Ilmi, dengan mengambil tema "Membentuk Generasi Qur'an Untuk Mewujudkan Peradaban Madani"

Acara digelar pada, Kamis 29 Maret 2018 sejak 06.30 sampai 11.30 wib.

Dalam sambutan H. Qomarudin, M.Hi (Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, sekaligus Ketua Jamiyyah Qurro wal Chuffadz Surabaya) beliau menyampaikan dari sekian kitab suci yang dimiliki oleh berbagai agama, hanya kitab suci Al-Qur'an saja yang bisa dihafalkan, ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an merupakan langsung dari Allah SWT dan bukan buatan manusia.

















Rabu, 28 Maret 2018

Video & Kalimat Nasehat



( Keteladanan Sayiddah Fatimah, ra)
oleh : Alhabib Segaf Baharun, M.Hi

SYUKUR



Sepanjang hari, nikmat dan anugerah Allah SWT kita peroleh. Tidak usah jauh-jauh, marilah kita lihat diri kita sendiri secara fisik, kita diberi indra yang lengkap - penglihatan, pendengaran, penciuman, pernapasan, dan perasa - yang memungkinkan kita mengecap segala bentuk nikmat duniawi yang enak dan indah.

Atau lihatlah sekeliling kita, sinar mentari yang hangat, air dan udara yang bersih, pepohonan tempat berteduh, semua disediakan oleh Allah SWT untuk kita, tanpa membayar.

Itulah sebab Rasulullah SAW menganjurkan agar kita beribadah sebanyak mungkin, sebagai ungkapan syukur kita kepada-Nya, atas berbagai nikmat pemberian-Nya.

Allah SWT adalah Zat Mahasegalanya, jadi Dia tidak membutuhkan apapun dari kita. Allah SWT pun tidak membutuhkan ibadah kita, karena bagi dia tidak jadi soal apakah seluruh semesta menyembah-Nya atau malah ingkar kepada-Nya.

Ibadah kita kepada-Nya semata-mata berpangkal dari kesadaran kita sendiri, yakni kesadaran tentang keharusan untuk bersyukur kepada-Nya karena telah memberi kita begitu banyak nikmat. 

Rasulullah SAW pernah ditanya sahabatnya, mengapa beliau shalat sunat di malam hari (qiyamal-lail) sampai kakinya bengkak-bengkak, Bukankah beliau sudah diampuni segala dosanya yang akan datang, bukankah beliau sudah dijamin masuk surga? Jadi, buat apa beliau susah-susah memperbanyak ibadah? Beliau menjawab,” Tidak bolehkah aku bersyukur?” 

Jawaban ini menjelaskan bahwa tujuan ibadah bukan semata-mata untuk mengharap surga-Nya, atau agar terhindar dari neraka- Nya. Namun, lebih dari itu, ibadah adalah ekspresi rasa syukur kita kepada Allah SWT atas semua nikmat pemberian-Nya.


Allah SWT sendiri tidak suka kepada manusia-manusia yang enggan bersyukur. Dalan sebuah hadits qudsi, Dia berkata, “Siapa yang tidak mau bersyukur atas nikmat pemberian-Ku, dan tidak mau bersabar atas cobaan-Ku, maka silahkan saja ia keluar dari kolong langit-Ku dan silahkan ia cari Tuhan selain Aku!”

Dalam tatanan paling mendasar, rasa syukur bisa diwujudkan dengan cara menjaga nikmat Allah SWT agar tidak digunakan dijalan maksiat. 

Kita biasa mengucap hamdalah atau mungkin memperbanyak ibadah murni (mahdhah) dan ibadah-ibadah sunat lainnya, sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada-Nya karena telah memberi karena telah memberi kita nikmat yang tak terkira. Namun,semua itu tidak akan ada artinya sama sekali ,jika di sisi lain dan bersamaan dengan itu, kita masih saja melakukan maksiat kepada Allah Swt. Dengan menggunakan fasilitas nikmat pemberian-Nya.

Misalnya saja kita sering shalat dan puasa sunat, katakanlah itu kita lakukan sebagai ungkapan syukur. Tetapi kita juga tidak bisa meninggalkan ucapan jorok, menggunjingkan saudara, dan sebagainya, ya apa gunanya. Karena itu, tentu saja, yang paling baik adalah bila kita rajin shalat dan puasa dan pada waktu bersamaan kita bisa menjaga mulut dan perilaku dari hal-hal yang tidak baik. Itulah antara hakikat dari rasa syukur.

Selasa, 27 Maret 2018

Godaan Orang Berilmu

(Ilustrasi : Godaan setan)

Menuntut ilmu pengetahuan merupakan sebuah kewajiban yang memerlukan kehati-hatian.

Allah SWT menyiapkan ujian yang harus kita lalui agar menjadi seorang penuntut ilmu yang ikhlas dan memberikan manfaat untuk manusia lain. 

Rasullullah bersabda, "Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk bersaing dengan ulama atau untuk berdebat dengan orang jahil atau untuk menarik perhatian orang lain, maka ia akan masuk neraka" (Abu Hurairah). 

Hadits ini memberikan perincian tentang godaan yang sering dialami oleh para penuntut ilmu dan para ilmuan dalam proses pengamalan ilmunya. 

Memang, dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang memiliki ilmu. Dalam surat Al-Mujadilah ayat 11, Allah SWT Berfirman, "Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan."

Banyak lagi kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada orang yang berilmu, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Bukankah para malaikat mau bersujud kepada Nabi Adam a.s. setelah Allah SWT mengajarkan beberapa ilmu kepada Nabi Adam a.s., ketika sebelumnya malaikat meragukan manusia karena menganggapnya sebagai makhluk yang suka permusuhan.

Tujuan pokok kita menuntut ilmu adalah untuk semakin tunduk dan patuh kepada ajaran Allah SWT semakin tinggi ilmu yang kita raih, semakin baik ibadah kita. Bukan sebaliknya, sebanyak ilmu yang kita miliki, semakin berani terhadap larangan-larangan Allah SWT.


Di antara godaan tersebut yaitu bersifat riya dan bangga dengan ilmu yang diberikan Allah SWT, sifat ini memang sering menggoda dan hanya orang yang dilindungi Allah SWT yang bisa menghindarinya. 

Godaan pertama yang akan dihadapi adalah perasaan ingin dianggap ilmuwan agar bisa bersaing dengan ilmuwan lain. Pikiran dan emosi hanya disibukkan dengan melihat orang lain dan berusaha untuk mengunggulinya sehingga melupakan tujuan dasar menuntut ilmu. 

Godaan kedua, ini peringatan untuk orang yang suka berdebat dengan orang lain. Ilmu yang diberikan Allah SWT hanya untuk menyombongkan diri dengan keinginan untuk mengalahkan orang lain dalam berdebat agar menganggap kita lebih hebat dari lawan debat kita. 

Perdebatan tidak akan memberikan hasil apa-apa kecuali sifat bangga dengan ilmu yang dianugerahkan Allah SWT.

Dalam sebuah ayat, Allah SWT berfirman, "Taatlah kamu kepada Allah SWT dan Rasul dan jangan suka berbantah-bantahan, karena itu hanya mengakibatkan kegagalan dan menghilangkan wibawamu. Bersabarlah, sesungguhnya Allah SWt bersama orang yang sabar" (QS Al-Anfal [8]: 46)

Godaan ketiga, menuntut ilmu agar orang lain memperhatikan kita. Ini biasa terjadi bagi penuntut ilmu yang merantau ke daerah lain. Ketika pulang kampung, misalnya, ada keinginan untuk dimuliakan orang karena kita diberi Allah SWT kesempatan kuliah, sedangkan teman-teman yang lain cuma tamat sekolah menengah saja. 

Mudah-mudahan dengan kembali merenungkan tujuan menuntut ilmu, kita semakin taat kepada Allah SWT dan bisa menghindarkan diri dari godaan yang akan menjerumuskan kita ke dalam neraka. Amin. []

Minggu, 25 Maret 2018

Dari Pelajaran Berwudhu


Hasan dan Husein, putra Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra, suatu saat pergi ke masjid dan menjumpai seorang tua yang sedang berwudhu lalu shalat. Ternyata, wudhu dan sholat orang tua itu terlihat kurang sempurna. Hasan dan Husein ingin memperbaiki dan meluruskannya, tetapi khawatir menyinggung perasaan orang tua itu.

Akhirnya, mereka sepakat untuk memakai pendekatan. Di hadapan orang tua itu mereka berdebat. Masing-masing mengatakan bahwa dirinyalah yang lebih benar wudhu dan shalatnya. Kemudian mereka meminta orang tua tersebut untuk menilainya.

Maka dia berkata kepada keduanya, "Alangkah baiknya wudhu dan sholat kalian, serta alangkah baiknya tuntunan dan bimbingan kalian kepadaku. Semoga Allah Swt. memberkati kalian." Demikianlah cerita yang diceritakan dalam buku Hikmah dalam Humor, kisah dan pepatah susunan Abdul Aziz Salim Basyarahil.

Kisah diatas sungguh memesona. Pertama, ada sekelompok orang yang meluruskan perbuatan yang diketahuinya salah dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Kedua, cara yang digunakan penuh dengan hikmah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi sasaran perubahan, yakni seorang yang lebih tua.

Dalam Islam, seorang muslim dituntut untuk tak tinggal diam saat memiliki kemampuan memperbaiki kesalahan dengan cara penuh kebijaksanaan. Apabila menghadapi kemungkaran, menurut nabi, seorang Muslim harus mengubahnya dengan tangan, jika tidak bisa, dengan lidahnya, dan jika tidak bisa juga, maka dengan hatinya, meskipun ini adalah selemah - lemahnya iman.

Kisah diatas juga menampilkan sisi lain yang tak kala memesona dari diri Pak Tua. Pertama, orang tua ini adalah figur yang menerima kebenaran yang datang kepadanya, meski itu berasal dari orang yang lebih muda. Kedua, ia juga merupakan sosok yang dengan lapang dada mengakui dirinya tak tahu dan berterima kasih pada orang yang memberitahu. Selain itu, ia adalah sosok yang tidak ngotot bertahan dalam kesalahan dan bersikap apriori terhadap hal baru yang datang padanya dengan sikap memusuhi.

Nabi Muhammad Saw. mengajarkan agar umatnya tidak bertahan dalam kesalahan. Menurutnya, "Barangsiapa yang melakukan sebuah kesalahan dan dia tahu bahwa itu adalah salah, maka ia tetap dalam kutukan Allah Swt. hingga dia menghentikannya."

Akhirnya, dari sebuah pelajaran wudhu ini, mungkin ada baiknya mengingat apa yang pernah diucapkan Sayyidina Umar bin Khaththab, ra "..Kebenaran tidak tergantung pada waktu, tidak ada yang boleh melanggarnya. Dan jauh lebih baik kembali kepada kebenaran daripada bertahan dalam kesalahan."

Sabtu, 24 Maret 2018

ALLAH MENGAJARKAN CINTA


Cinta adalah salah satu pesan Agung yang Allah SWT sampaikan kepada umat manusia sejak awal penciptaan makhluk-Nya. 

Dalam satu hadits yang diterima dari Abu Hurairah, Rasullah SAW Bersabda, "Ketika Allah SWT menciptakan makhluk-makhluk Nya di atas Arsy, Dia menulis satu kalimat dalam kitab-Nya, 'Sesungguhnya Cinta kasih-Ku mengalahkan amarah-Ku'." (HR Muslim) atau dalam versi lain, "Sesungguhnya Cinta kasih-Ku mendahului amarah-Ku" (HR. Muslim)

Dalam kehidupan manusia, cinta sering direfleksikan dalam bentuk dan tujuannya yang beragam. 

Ada dua bentuk cinta. Pertama, cinta karena Allah SWT. Kedua, Cinta karena manusia. 

Bagi seseorang yang mencintai orang lain karena Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia akan menjadikan cinta itu sebagai media efektif untuk saling memperbarui dan saling intropeksi diri, sudah sejauh mana pengabdian kita kepada Allah SWT. Cinta model ini akan berujung pada kepatuhan total dan ketundukan tulus, bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata karena pembuktian cintanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.


Sementara bagi seseorang yang mencintai orang lain karena manusia, maka ia akan banyak menimbulkan persoalan serius. cinta ini sifatnya singkat, karena cinta model ini biasanya muncul karena dorongan material dan hawa nafsu. Dua hal yang sering membuat manusia lalai dalam kenikmatan duniawi. 

Rabi'ah Al-Adawiyah, seorang tokoh sufi terkemuka, suatu ketika berlari-lari di jalan sambil membawa seember air dan api. Ketika ditanyai seseorang tentang apa yg sedang dilakukan, Rabi'ah tegas menjawab bahwa ia membawa air untuk menyiram api neraka, dan membawa api untuk membakar surga. 

Menurut Rabi'ah, hanya karena niat ibadah untuk memperoleh surga dan terhindar dari api neraka inilah kebanyakan manusia melupakan tujuan hakiki ibadahnya. Padahal, ibadah bukanlah bertujuan untuk memperoleh surga atau menghindari neraka. Ibadah merupakan bentuk cinta tulus ikhlas kepada Allah SWT.

Pergaulan juga mesti dilandasi cinta. Dengan itu kehidupan akan berjalan harmonis dan langgeng. 

Cinta yang diajarkan Allah sendiri adalah Dzat yang abadi dan tak pernah rusak. Maka, keabadian, keharmonisan dan kesejahteraan umat manusia akan tercapai jika cinta yang ada pada diri manusia ditujukan semata-mata karena Allah.

Allah sendiri yang mengingatkan manusia bahwa Dia tidak akan pernah mendahulukan amarahnya. Cinta Allah yang menyebar di alam semesta inilah yang menjadi bukti bahwa keharmonisan itu benar-benar terjadi 

Seseorang yang tidak melakukan cinta yang diajarkan Allah SWT tidak akan berhasil mendapatkan cinta-Nya. 

Dalam salah satu haditsnya, Rasullulah SAW Bersabda "Siapa yang tidak mencintai manusia maka ia tidak akan dicintai Allah SWT (HR Bukhari).

Model cinta Allah SWT yang diajarkan adalah cinta tertinggi, karena selain berakibat pada kebahagiaan abadi di akhirat, imbasnya bagi kehidupan dunia pun akan terasa.

Baca pula :
Dengan cinta

Kamis, 22 Maret 2018

DENGAN CINTA


Madinah adalah kota yang menawarkan cinta. Hingga kini, jejak-jejak peradaban penuh cinta yang pernah ditegakkan Rasulullah Saw. Lebih dari 1.400 tahun silam masih terasa dengan kuatnya.

Madinah adalah cinta.

Jika Madinah adalah cinta, maka Nabawi adalah jantungnya. Masjid yang dibangun oleh tangan Rasulullah Saw sendiri ini adalah tempat yang memompa denyut cinta Madinah. Memasuki masjid ini seperti larut dalam lautan cinta.
Di masjid ini, semua perindu kekasih berjumpa. Di Raudhah tempat segala doa tak berjarak lagi, mereka seperti sedang mengadu pada kekasihnya, Rasulullah Saw.

(Raudhoh Nabi - Masjid Nabawi)

Dalam doa-doa yang panjang, mereka mengadu tentang nasib, hidup, dan cinta. Di antara makam Rasul dan mihrab tua yang dibangung untuk menyembah Sang Maha Kekasih, manusia dari berbagai penjuru bumi tepekur dan tersedu.

Mereka tidak menangis karena sedih, tidak pula kena pilu. Mereka menangis karena rindu. Mereka seolah sedang bergelayut dipundak Rasulullah Saw bercerita tentang hidupnya. Mereka seolah sedang merajuk dan merayu dihadapan sang kekasih, berkisah tentang semua rasa cinta.

Bahkan, ada yang tak sanggup berkata sepatah kata pun, hanya tangis dan rasa di dada yang membuncah. Seperti sebuah syair dalam nasyid Raihan:

Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kudekap dirimu
Tiada kata yang mampu kuucapkan
Hanya Tuhan saja yang tahu

Air mata berderai, Air mata rindu dan cinta pada manusia yang penuh dengan cinta. Membayang seketika, kisah-kisah tentang keagungan cinta Rasululah Saw kepada umatnya. 

Terbayang seluruh perjalanan hidupnya yang penuh cinta, sebagai seorang kekasih, sebagai seorang ayah, sebagai seorang pemimpin atas umatnya, sebagai seorang hamba kepada khaliknya.

Cinta Rasulullah Saw adalah cinta paripurna. Rindu Rasulullah Saw adalah rindu yang hidup dan menghidupi. Kasih Rasulullah Saw adalah kasih yang cerah dan mencerahkan. 

Cintanya adalah cinta yang harus kita jadikan jejak-jejak yang senantiasa kita tapaki. Rindunya adalah rindu yang harus selalu kita jaga sebagai lentera dalam terang, terlebih dalam gulita. Dan kasihnya, semoga selalu menjadi tarikan napas dan denyut nadi dalam hidup kita.

Jika kita hidup dengan cinta seperti cintanya, bila kita bergerak dengan kasih seperti kekasihnya, sungguh akan ada banyak "Madinah" di delapan penjuru mata angin dunia.

Kekuatan cinta seperti cintanya akan membuat kita cinta pada kebenaran melebihi apa pun jua. Membuat cinta kita kepada harum surga melebihi apa pun jua. Membuat cinta kita pada jihad melebihi apa pun jua. Membuat cinta kita kepada Allah Swt. Lebih dari segala-gala.

Ya Allah, jadikan cinta kami kepada-Mu sebagai satu-satunya cinta yang mengantar kami menutup mata.

Ya Allah, jadikan rindu kami kapada Rasul-Mu menjadi satu-satunya rindu yang bergelora dalam jiwa sampai diputusnya nyawa kami. Ya Allah, dengan penuh harap dan cinta, kabulkanlah...[]

Rabu, 21 Maret 2018

HIDUP YANG TAK PENUH



Apa konsekuensinya kalau kita menjalani kehidupan hanya berdasarkan hasil refleksi ungkapan orang lain atas diri kita ketimbang menemukan dan mengolah keauntetikan diri sendiri ?

Sebutir telor rajawali ditetaskan bersama-sama dengan telor ayam kampung, setelah menetas rajawali tersebut hidup bersama-sama anak ayam.

Seperti layaknya hewan peliharaan,  mereka berkeliaran di kebun, parit, di luar rumah, mencari cacing, ulat dan sisa-sisa makanan. Sama seperti "saudara"nya yang lain, rajawali itupun tidak bisa terbang, paling-paling hanya berlompat-lompat kecil. yang jelas kehidupan para unggas itu berjalan tentram dan damai sampai akhirnya sang rajawali menjadi tua.

Suatu siang ketika mencari makanan di kebun, matanya tertumbuk pada pemandangan indah di udara, tampak oleh-nya seekor burung gagah perkasa terbang di antara pepohonan. Sayapnya yang berwarna keemasan mengempak-ngepak dengan indahnya.

"Hewan apakah itu ?", Saudaranya sesama menjawab oh itu rajawali, rajanya burung" ujarnya.

(Ilustrasi : Rajawali)

Tetapi tempatnya nun jauh di atas kita, kita sih kaum ayam bisanya ya cuma bisa teker-teker di tanah.

Si rajawali mencari cacing di tanah sampai mati, ia tak menyadari bahwa dirinya bukan ayam kampung.

Inilah hidup pantas kalau W. Hugh. Auden dalam kumpulan esainya the dayres  dren, mengatakan "Citra diri kuciptakan dalam pikiran supaya aku bisa mencintai diriku sendiri. Ternyata berbeda dengan citra yang kuciptakan dalam pikiran orang lain, agar mereka mencintaiku."

Baca Juga :
Terapi Berfikir Positif

Tuntunan Penyelenggaraan Jenazah

Hal-hal yang diwajibkan terhadap mayit


Diwajibkan atas yang menyaksikan kematian mayit, baik dari keluarganya maupun yang lainnya empat perkara : Memandikannya, mengkafaninya, Mensholatinya, dan menguburkannya.

Memandikan mayyit
Sabda Rasulullah SAW tentang seorang yang ihram kemudian jatuh dari kendaraannya dan meninggal :

"Mandikanlah dengan air dan daun bidara." (Muttafaq 'alaih, Shahih al-Bukhari, 3/135/1265 dan Shahih Muslim, 2/865/1206)

Cara memandikan Mayyit
Dari Ummu Athiyyah ra, Bahwasannya Rasulullah SAW bersabda kepada para wanita yang memandikan puteri beliau,

"Mulailah dengan bagian tubuh yang kanan dan anggota-anggota wudlu'nya ( Muttafaq 'alaih, Shahih al-Bukhari, 3/130/1255 dan Shahih Muslim, 2/646/43-939)

Dari Ummu Athiyyah ra juga berkata : Nabi SAW masuk kepada kami ketika kami memandikan putrinya dan bersabda :

"Mandikanlah tiga kali atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian memandang perlu, dengan air dan daun bidara, dan jadikanlah diakhirnya kapur barus atau sedikit dari kapur barus, setelah selesai beritahukanlah kepadaku." Setelah kami selesai memandikannya kami beritahukan kepada beliau, maka beliau memberikan kain sarungnya kepada kami seraya berkata, "Jadikanlah ini sebagai pakaian yang menyentuh kulitnya." (Muttafaq 'alaih, Shahih al-Bukhari, 3/125/1253 dan Shahih Muslim, 2/646/939)

Dan dari Ummu Athiyya ra, juga berkata :

"Maka kami jalin rambutnya tiga jalinan, dua di atas dan satu di ubun-ubunnya. (Muttafaq 'alaih, Shahih al-Bukhari, 3/133/1262 dan Shahih Muslim, 2/646/939)


Dan dari Ummu Athiyyah ra, juga betkata :

"Maka kami jalin rambutnya tiga cabang, dan kami julurkan di belakangnya.
(Muttafaq 'alaih, Shahih al-Bukhari, 3/134/1263 dan Shahih Muslim, 2/646/939)

Jika mayyit laki-laki maka wajib yang memandikannya para laki-laki, dan jika wanita yang memandikannya para wanita, kecuali suami-isteri maka boleh masing-masing memandikan yang lainnya.

Ilustrasi Memandikan Jenazah :


Membersihkan bagian kemaluan dan dubur mayit dari kotoran yang kemungkinan menempel.



















Refrensi : 
Arif Fathul Ulum, 1 Jam Belajar Mengurus Jenazah.



















ILMU DAN AMAL


Diakui atau tidak, ilmu memang harus pada urutan sebelum amal. Seorang dokter harus berilmu dahulu, sebelum mengobati pasien. 

Ilmu yang benar akan melahirkan keselamatan. Ilmu yang salah akan menyebabkan kesesatan.

Dalam QS Al-Hajj [22]: 54 Allah SWT. Berfirman, “Agar orang-orang yang telah diberi ilmu itu meyakini bahwa Al-Quran itulah kebenaran dari Tuhan-mu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah Swt. Adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang beriman kepada jalan yang lurus”. 

Ayat ini menunjukkan bahwa dari ilmu akan datang iman, dan dari iman, ketundukan hati akan terlaksana. 

Dalam ayat lain (QS 47:19) disebutkan dengan nada perintah, “fa’lam ‘ketahuilah’ bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan, melainkan Allah Swt, mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. 

Perhatikan kata “fa’lam” didahulukan atas perintah beriman dan beramal. 

Imam Bukhari dalam menyusun sahih meletakan sebuah bab berjudul “bab al-‘ilmi qabl al-qauli wa al-‘amal (bab ilmu sebelum perkataan dan perbuatan”. 

Para ulama, ujar Bukhari, melihat ilmu sebagai syarat sahnya perkataan dan perbuatan. Banyak sekali orang yang ikhlas, tetapi karena kekurangan ilmu, mereka sering menganggap yang salah jadi benar, dan yang benar jadi salah, atau yang sunnah jadi bid’ah dan yang bid’ah jadi sunnah.

Anehnya mereka tidak merasa berbuat salah, seperti kata Al-Quran, “Katakanlah, apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi dalam perbuatannya? Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS Kahfi [18]: 103-104).

Dalam QS Fâthur [35]: 8 diceritakan, bahwa setan mudah memengaruhi orang-orang yang tidak berilmu, sehingga ia menganggap perbuatannya –sekalipun salah- menjadi benar, 

“Maka apakah orang yang ditipu itu untuk menganggap baik pekerjaan yang buruk, sehingga ia meyakini bahwa pekerjaannya itu baik?”.

Rasulullah Saw. Selalu berdoa, “Ya Allah, tunjukkanlah kami kebenaran sebagai kebenaran, dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kebatilan sebagai kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya”.

Dalam doa ini Nabi SAW. Memohon ilmu, lalu memohon kekuatan untuk mengamalkannya. 


Al-Ghazali, dalam bukunya Minhâj al-‘Abidin, menyebutkan beberapa tangga yang harus ditempuh menuju Allah SWT, dan tangga pertama adalah ilmu.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan bahwa amal tanpa ilmu malah akan merusak, bukan memperbaiki.