Jumat, 31 Agustus 2018

Emosi



Resensi Buku :

Emosi, pada dasarnya, memang tak pernah tetap, stabil, dan tak berubah-ubah. Emosi tak akan pernah menjadi tetap dan permanen. Sebab itulah ia disebut "emosi" yang berasal dari kata "motion" yang berarti gerak. Dari satu situasi ke situasi lain, Anda terus-menerus berubah. Saat ini Anda mungkin bersedih, saat lain Anda bergembira; suatu saat Anda menjadi pemarah, saat lain Anda menjadi penyayang. Suatu ketika Anda sangat mencinta, besok lusa bisa jadi anda dipenuhi kebencian; suatu pagi terasa begitu indah, tapi malamnya terasa menjemukan. Semua ini berlangsung terus menerus. Setiap saat. Sepanjang hayat. Itulah sebabnya, kita perlu mengelola emosi.

Penelitian terbaru juga menemukan, pengelolaan emosi yang buruk -yang tecermin dalam stres, sesungguhnya memicu produksi hormon-hormon negatif yang menghantam sistem kekebalan tubuh kita, dan membuat kesehatan kita menjadi sangat rentan terhadap serangan penyakit.

Kondisi tubuh yang capai dan lemah akan mudah sekali memicu emosi kita. Kita pun menjadi lebih mudah marah, frustasi, depresif, atau stres. Akibatnya, tubuh yang sudah lunglai akan lebih mudah lagi terserang berbagai penyakit, akibat merosotnya kekebalan tubuh.

Karena berawal dari emosi, penanganan medik-konvesional seringkali tidak memadai lagi. Sebab upaya "penyembuhan" tidak menyentuh "causa-penyebabnya". Kita hanya meredakan gejala.
Pernah dengar ada obat untuk menangkal kemarahan-kemarahan kita ?

Maka menelusuri buku ini menemukan inti dari emosional detoks, mengubah kemarahan, kecemasan, dan depresif menjadi energi sehat.


Rabu, 29 Agustus 2018

Tajul 'Arus : Al-Ghayn



Al-ghayn adalah keadaan hati yang lalai dari mengingat Allah, padahal sesungguhnya beliau (Nabi Muhammad saw) selalu dalam keadaan zikir. Bagi beliau, lalai mengingat-Nya adalah dosa sehingga beliau memohon ampunan atasnya.

Hati Nabi saw. selalu sibuk dengan Allah. Maka, ketika beliau dihadapkan pada satu keadaan yang sifatnya duniawi dan membuat beliau lupa memikirkan urusan umat dan agama, keadaan itu dianggap dosa dan kelalaian sehingga beliau merasa harus memohon ampunan.

Sebagai contoh, Ibn Umar ra. menuturkan, "Kami pernah menghitung dalam satu kali duduk beliau membaca :


"Wahai Tuhan, ampunilah aku dan berikan tobat kepadaku. Engkau Maha Pemberi Tobat dan Maha Penyayang' sebanyak seratus kali." (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)

Apabila Nabi saw. memohon ampunan dari kelalaiannya dan menganggap hal itu sebagai dosa, dan kemudian terus beristighfar dalam sehari sebanyak seratus kali padahal Allah telah mengampuni semua dosanya, bagaimana dengan kita?! 

Bukankah itu merupakan bentuk pengajaran kepada kita untuk selalu bertobat dan memohon ampunan tanpa pernah menunda-nunda?


Hadits Arba'in : Niat dan Ikhlas


Dari Amirul Mu'minin, Abu Hafsh Umar bin al-Khathab ra. berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barang-siapa hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan dinilai sebagaimana) yang dia niatkan."

(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari dan Abu al-Husain, Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naishaburi, di dalam kedua Kitab Shahih-nya yang merupakan kitab paling shahih yang pernah dikarang)

Senin, 27 Agustus 2018

LELAKI AHLI SURGA



Anas bin Malik ra, mengisahkan bahwa ia bersama beberapa sahabat sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW.  Tak lama kemudian Rasulullah bersabda, "Akan berlalu saat ini seorang ahli surga." Saat itu juga seorang sahabat dari kaum Anshar muncul sambil tangan kanan mengusap jenggotnya sementara tangan kirinya menenteng sandal.

Keesokan harinya Rasulullah SAW kembali mengatakan hal yang sama dan muncul sahabat Anshar itu lagi. Pada hari ketiga Rasulullah berkata lagi seperti yang beliau ucapkan sebelumnya. Dan masih sahabat itu juga yang datang.

Ketika Rasulullah SAW beranjak pergi, sahabat Abdullah ibnu Umar mengikuti orang itu. Kemudian ia berkata kepada sahabat itu, "Aku berselisih dengan ayahku dan bilang tak akan tinggal bersamanya selama tiga hari. Jika kau izinkan, bolehkah aku tinggal bersamamu selama itu?" Sahabat itu menjawab, "Baiklah, silahkan engkau tinggal bersamaku."

Abdullah Ibnu Umar bercerita bahwa ia tinggal bersama sahabat itu selama tiga hari. Tapi selama tiga hari itu ia sama sekali tak melihatnya bangun tengah malam beribadah, kecuali ketika bangun ia selalu berdoa dan bertakbir hingga menjelang shalat subuh. Abdullah berkata, "Aku hanya mendengar ia selalu mengucapkan kebaikan."


Selama tiga malam itu, hampir saja aku meremehkan semua hal yang ia lakukan. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya kepadanya, 'Wahai hamba Allah, sebenarnya tak pernah terjadi perselisihan antara aku dan ayahku, tapi aku mendengar Rasulullah berkata sebanyak tiga kali.' Saat ini akan berlalu seorang ahli surga'. Aku perhatikan ternyata engkau-lah orangnya. Aku lantas bermaksud tinggal bersamamu untuk mengetahui lebih dekat semua yang kamu lakukan, Tapi sampai saat ini aku tak melihat kamu melakukan sesuatu yang istimewa dan berharga. Aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan Rasulullah SAW mengatakan demikian'. Sahabat itu kemudian menjawab, 'Diriku hanyalah seperti yang kamu lihat."

"Setelah mendengar jawabannya, aku beranjak pergi meninggalkannya. Selang beberapa langkah, ia kembali berkata kepadaku, 'Diriku hanyalah seperti yang kamu lihat, tapi tak pernah terbetik dalam hatiku perasaan dengki terhadap Muslim lainnya atau iri terhadap anugerah yang Allah SWT berikan kepada mereka"

Abdullah lbnu Umar menimpali, "Ini dia yang menyebabkan kamu menjadi ahli surga." 
(Hadits Riwayat Ahmad dengan sanad menurut syarat Bukhari, Muslim dan Nasa'i)

Hilangnya dengki balasannya adalah surga.


Rabu, 22 Agustus 2018

Serah terima rumah yang pernah disewa bomber Mapolrestabes Surabaya


(Foto bersama, setelah serah terima dan membuka garis police line)

Pada hari Selasa, 21 Agustus 2018 pukul 20.00 telah ditandatangani Berita Acara penyerahan rumah yang pernah disewa oleh teroris bomber Mapolrestabes Surabaya kepada pemiliknya, yang berlokasi di Tambak Medokan Ayu VI Surabaya.

Kapolsek Rungkut, Ibu Esti mewakili penyidik dari Densus 88 memimpin prosesi penyerahan kepada pemiliknya, yaitu Bapak Budi Sugeng dari Sambikerep Surabaya.

Sebagai saksi adalah Bapak Chamim Ketua RW 02, Bapak Suparno Wakil Ketua RT 08, serta kakak dari istri Bomber dari Krukah-Surabaya.

Dengan penyerahan rumah tersebut kepada pemiliknya, harapannya bisa digunakan kembali dengan baik, serta merubah image masyarakat bahwa rumah tersebut adalah "rumah teroris", tukas ibu Kapolsek

Satu hal yang paling berkesan dari ibu Kapolsek sebelum beliau pindah menjabat pada Kapolsek Krembangan Jum'at depan, adalah masyarakat  Tambak Medokan Ayu gang VI yang ramah dan mudah bergaul,  berdasarkan dari cerita rekan Brimob dan Densus 88 yang mendapatkan pelayanan kopi, teh dan makanan spontanitas dari masyarakat saat mendampingi petugas melakukan olah TKP tempo hari yang lalu.

Semoga kesan baik yang telah ditunjukkan warga, menjadikan spirit bersama untuk tetap menyongsong hari esok yang lebih baik, dan tetap setia pada Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.










Jumat, 17 Agustus 2018

Peduli Korban Gempa Lombok


(Kotak Dana Peduli Gempa Lombok)

Sebagai wujud kepedulian terhadap korban Gempa Bumi di Lombok Nusa Tenggara Barat, maka Ke-Takmiran Musholla As-Suyudi berperan dalam penggalangan bantuan. 

Adapun bentuk bantuan yang bisa dititipkan kepada pengurus takmir As-Suyudi meliputi :
  1. Dana, yang bisa dimasukan ke dalam kotak amal yang telah disediakan di sisi selatan serambi musholla.
  2. Pakaian yang masih layak pakai
  3. Dan lain sebagainya, yang dirasa bermanfaat.
Untuk durasi waktu penggalangan terhitung mulai tanggal 16 s/d 23 Agustus 2018. (termasuk perolehan kotak amal saat pelaksanaan sholat Idul Adha)

Atas perhatian dan bantuannya, dihaturkan terimakasih.

Berita Acara Serah Terima Donasi untuk  Korban Gempa Bumi Lombok-NTB
Dari Jamaah Musholla As-Suyudi
Tambak Medokan Ayu RT 08/RW 02
Rungkut, Surabaya


Telah diserahkan pada :

Ahad, 2 September 2018
Pukul 07.00 WIB
Bertempat di Kantor PWNU Jawa Timur
Diterimakan Langsung oleh :
KH. Marzuki Mustamar
Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur

Berupa :
  1. Uang Tunai Rp. 3.304.000,- (Tiga Juta Tiga Ratus Empat Ribu Rupiah)
  2. Selimut
  3. Tenda
  4. Baju Layak pakai

Yang Menyerahkan :
  1. Bpk. Suparman, SH (Ketua Takmir)
  2. Ustadz. Abdul Latif
  3. Ustadz. Huriyanto
  4. Bpk. Mardiyono

Semoga Keihlasan para donatur dari Jamaah Musholla As-Suyudi diterima dan mendapatkan barokah dari Allah SWT.

(Video serah terima donasi)



Selasa, 14 Agustus 2018

Pemimpin yang Saleh


Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayah merupakan contoh pemimpin yang saleh. Dikisahkan, pada hari pertama menjadi khalifah, ia berpidato, "Saya bukan lebih baik dari kalian, melainkan sayalah yang paling berat membawa beban"

Kepemimpinan adalah tanggung jawab yang sangat berat. Tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Fatimah, istri Umar bin Abdul Azis, selalu melihat suaminya menangis di masjidnya. Padahal, negara yang dipimpinnya telah benar-benar makmur. Semua rakyat merasa dipenuhi hak-haknya.

Ketika Fatimah menanyakan hal itu, Khalifah Umar pun menjawab "Saya lagi merenungi nasib rakyat, takut masih ada di antara mereka yang lapar, yang sakit tanpa pengobatan, yang tidak mempunyai pakaian, yang dizalimi, yang terasing, yang tua bangka tanpa ada bantuan, yang miskin dan mempunyai banyak keluarga, dan lain sebagainya di belahan negeri ini. Saya tahu di hari kiamat nanti akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Saya takut kalau saya tidak mempunyai alasan yang benar. Karenanya saya menangis."

Umar bin Dur meriwayatkan, suatu hari ia melihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang bersedih dan ia pun bertanya penyebabnya. Khalifah Umar menjawab, "Siapa saja yang berada pada posisi seperti saya akan bersedih. Bayangkan, saya selalu memikirkan bagaimana menyampaikan setiap hak kepada masing-masing rakyat, baik ia minta ataupun tidak"

Setiap malam, seperti diriwayatkan Atha', Khalifah Umar mengumpulkan para ulama, duduk bersama-sama, merenung tentang kematian dan hari kiamat. Lalu mereka sama-sama menangis seakan menangisi seseorang yang baru saja meninggal dunia.

(Ilustrasi berkumpul dengan para ulama)


Rasa takut akan siksaan Allah Swt. di hari kiamat benar-benar terhunjam dalam diri Umar. Dari sinilah kemudian terpancar perilaku kepemimpinannya yang sungguh menyebarkan kesejahteraan bagi semua rakyatnya. Bila Umar berkhutbah di hari Jumat, ia pun selalu mengingatkan kepada jamaah, "Wahai manusia, perbaikilah apa yang tidak tampak dari perilakumu niscaya yang tampak akan baik, dan berbuatlah untuk akhiratmu niscaya duniamu akan cukup."

Wahib bin Al-Ward menceritakan, ketika sekelompok kerabat Umar datang dan minta tambahan harta, sang khalifah hanya menjawab, "Saya takut akan siksaan Allah yang pedih bila saya berbuat maksiat "

Sementara dalam riwayat Al-Suyuthi disebutkan, hanya dua tahun lima bulan Umar memimpin, tetapi rakyat di seluruh negeri benar-benar menikmati buah keadilan yang ditegakkannya.

Juga disebutkan, sebelum menjabat Umar mempunyai empat puluh ribu dinar. Ketika wafat, ia hanya mempunyai empat ratus dinar.

Amru bin Muhajir bercerita, Umar tidak pernah memakai hak milik negara untuk kepentingan pribadi.

Hasan Al-Qashab menyebutkan, kesalehan Umar sebagai pemimpin ternyata telah memancarkan rahmat tidak hanya kepada rakyat melainkan juga kepada binatang.

Diriwayatkan, selama kemimpinan Umar, serigala dan kambing hidup berdampingan dalam satu padang gembala. Ketika ditanya bagaimana mungkin serigala itu tidak menyerang kambing, sang penggembala
menjawab, "Bila kepala baik maka seluruh badan akan baik."

Jangan Menuntut Pahala



Kalau engkau menuntut suatu upah (pahala) dari amal yang kau kerjakan, maka engkaupun akan dituntut melakukan kesempurmaan ihlas dalam setiap amal ibadah. Barangsiapa yang merasa belum sempurna maka diapun sudah harus puas lepas dari tuntutan


"Timbangan amalmu sepadan dengan nilai perbuatan ibadahmu, maka mintalah karunia kemurahan-Nya, karena permintaan itu lebih baik bagimu", demikian kata Khoir An-Nasaj.

Al-Wasity berkata : "Ibadah-ibadah yang mudah mengantarkan kedekatan seorang hamba ialah ibadah dengan mengharap kemaafan dan ampunan-Nya daripada ibadah yang mengharapkan upah pahala."

Annasurrobadzi berkata : "Bilamana ibadah diperhatikan kekurangan-kekurangannya (agar menjadi lebih sempurna), maka yang lebih mendekatkan denganNya ialah meminta maaf, daripada ibadah dengan minta pahala"


Firman-Nya:
"Katakanlah, hanya karena karunia dan rahmat Allah mereka boleh gembira, sebab itu lebih baik bagi mereka dari segala apa yang mampu mereka kumpulkan sendiri."


Senin, 13 Agustus 2018

Hukum Jihad dan Teror






Pertanyaan
Mungkin tak dapat terlupakan oleh warga Surabaya peristiwa bom yang diledakkan di beberapa lokasi di Surabaya dalam waktu hampir besamaan yaitu Ahad, 13 Mei 2018 yang saat itu tengah berlangsung Istighatsah di Mapolda Jatim dalam rangkaian HUT Bayangkara sekaligus Jawa Timur Damai Pemilukada 2018. Motif pengeboman mungkin bisa bermacam-macam, salah satunya bisa jadi atas nama doktrin agama (yang sebenarnya bukan ajaran agama) bahwa membunuh orang beragama lain diyakini sebagai jihad. Dugaan ini mendekati benar sebab adanya indikator yaitu tiga ledakan terjadi di lokasi tempat ibadah agama lain.


  1. Apa pengertian ijhad bagi umat Islam dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah merdeka dan damai ?
  2. Benarkah tindak kekerasan (teror) dan bom bunuh diri merepresentasikan jíhad bagi kaum muslimin ?
  3. Apakah terhadap warga negara Indonesia yang menganut keyakinan/agama lain harus diposisikan sebagai musuh atau lawan dalam mengimplementasikan konsep jihad dengan menggunakan senjata?

Jawaban :
Jihad bagi umat Islam dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah merdeka dan damai, yaitu mencurahkan kesungguhan dalam upaya mengajak masyarakat Islam Indonesia agar menjalankan syariat agama Islam secara benar sehingga kalimah Allah menjadi mulia di seluruh penjuru tanah air bahkan seluruh dunia. Oleh karena itu, jihad harus terus digelorakan kapan saja dan di mana saja dengan senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta menghindari timbulnya kekacauan, apalagi sampai melakukan aksi terror anarkhis dan bom bunuh diri.

Jihad dengan pengertian di atas, mencakup banyak cara dan strategi sesuai tuntutan kondisi dan situasinya. Oleh sebab itu, tindakan teror sangat tidak tepat dan tidak cocok dijadikan cara dan strategi berjihad di negara aman dan damai seperti Indonesia. Sebab sejarah perjuangan (jihad) umat Islam dengan ulama'nya melalui pendekatan pendidikan, diskusi, jalur politik, perdagangan, budaya, kesenian dan lain-lain, telah terbukti dan teruji sangat efektif bagi penyebaran dan penegakan syariat Islam bagi bangsa Indonesia hingga saat ini.

Kita tidak diperkenankan memposisikan warga negara non muslim sebagai musuh dan boleh untuk diperangi, melainkan justru kita berkewajiban untuk menyerukan dan mengajak mereka agar dapat menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara tetap aman dan hidup berdampingan secara damai, mengingat negara ini didirikan bersama oleh seluruh komponen bangsa dari berbagai suku bangsa, agama dan keyakinan yang berbeda-beda secara bahu membahu.

Atas dasar pertimbangan fakta sejarah itulah, maka para pejuang muslim pendiri negara ini lebih memprioritaskan persatuan anak bangsa dari pada menonjolkan simbul agama ke dalam sistem ke-tata negara-an, namun perpecahan dan perang saudara selalu menjadi ancaman.

Referensi:
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab al-Imam asy-Syafi't, juz II hal 475 [Damaskus: Dar al-Qalam dan Dar asy-Syamiyah, 1416 H/1996 M]


Kata jihad dalam arti bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja "Ja-ha-da" artinya ialah mencurahkan kesungguhan dalam mencapai tujuan apapun. Kata jihad dalam istilah syariat Islam: Mencurahkan kesungguhan dalam upaya menegakkan masyarakat yang Islami dan agar kalimah Allah (ajaran tauhid din al-Islam) menjadi mulia serta syari'at Allah dapat dilaksanakan di seluruh penjuru dunia.

Mughni al-Muhtaj, Muhammad al-Khathib asy-Syirbini, IV/262 [Dar al-Fikr)

Kwajiban berjihad merupakan kewajiban perantara demi mewujudkan tujuan, bukan kewajiban melaksanakan tujuan.

karena maksud berperang hanya terwujudnya hidayah Allah (bagi masyarakat) dan lainnya yaitu gugur syahid. Adapun membunuh orang kafir bukan merupakan tujuan sehingga jika terwujudnya hidayah bisa dicapai dengan cara menegakkan dalil (argumen) tanpa dengan cara jihad, maka hal itu lebih utama dari pada jihad.

Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz IIl hal 167:

Tindakan semena-mena yang bisa menimbulkan bahaya atau kedhaliman adalah dilarang, sebagaimana halnya tindakan sewenang-wenang dalam menimbun bahan makanan pokok, tindakan sewenang-wenang oleh salah seorang rakyat dalam suatu hal yang menjadi adalah dilarang, sebagaimana halnya yang menjadi kewenangan khusus imam/pemimpin seperti jihad, dan tindakan semena-mena dalam menegakkan hukuman had dengan tanpa seizin imam.

Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz VI hal 285-286:

Bunuh diri hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para ulama dan dipandang dosa yang paling besar setelah syirik kepada Allah.
Allah berfirman (artinya): Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang haq" dan Firman Allah (artinya): "Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kamu semua.
Para Fuqaha menetapkan bahwa orang yang melakukan bunuh diri lebih besar dosanya dari pada orang yang membunuh
orang lain, dan dialah orang fasiq dan menganiaya dirinya, hingga sebagian ulama mengatakan bahwa dia tidak dimandikan dan dishalati sebagaimana para pembangkang.
Ada pendapat lain, bahwa dia tidak diterima taubatnya karena memberatkan atas kesalahannya sebagaimana dlahirnya sebagian teks hadits menunjukkan keabadiannya dalam neraka.
Di antaranya sabda Rasulullah, "Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari gunung hingga membunuh diri sendiri, maka ia akan menjatuhkan dirinya sendiri di neraka jahannam selama-lamanya"

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz VII hal 5846:
Jadi jihad bisa dilakukan dengan cara mengajar, mempelajari hukum-hukum Islam dan menyebarluaskannya, membelanjakan harta benda dan berpartisipasi berperang menghadapi musuh bila imam/pimpinan telah menginstruksikan jihad (perang), sebab berdasar firman Allah: "Perangilah orang-orang musyrik dengan harta kalian, jiwa dan lisan kalian".

Fatawa as-Subki, hal 340-341

Maksud daripada jihad adalah terwujudnya hidayah bagi masyarakat dan mengajak mereka kepada ajaran tauhid dan syariat Islam, serta mengupayakan keberhasilannya bagi mereka dan anak cucunya sampai hari kiamat. Jadi jihad tidak berarti apa-apa (selain hanya sebagai perantara), Sehingga apabila tujuan di atas masih bisa dicapai dengan kegiatan ilmiah, diskusi dan meluruskan ajaran-ajaran yang rancu, maka itu lebih utama.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa "Tinta para ulama lebih utama dari pada darah para syuhada'
Dan jika tujuan di atas tidak bisa dicapai kecuali harus melalui jalan perang, maka kita bolehlah berperang guna mencapai satu di antara tujuan akhir dari perang yaitu (1) terwujudnya hidayah masyarakat, dan ini tingkatan yang tertinggi (2) agar memperoleh status mati syahid dan ini tingkatan menengah melihat pada tujuan jihad. Akan tetapi merupakan tingkatan yang mulia, karena telah menyerahkan jiwanya demi terwujud sesuatu yang paling mulia. Dan merupakan tingkatan yang paling utama melihat pada jihad sebagai perantara, bukan sebagai tujuan (yang tentu saja lebih utama dari perantaranya)
Sedangkan tujuan jihad semata-mata hanyalah agar kalimat Allah (Kalimah Tauhid dan Dinul Islam) menjadi mulia. Dan (3) membunuh orang kafir dan ini merupakan tingkatan yang ketiga yang sebenarnya bukan tujuan dari jihad

Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab al-Imam asy-Syafi'i, 486:
Ketahuilah bahwa memerangi kaum kafir adalah merupakan sarana/alat dan bukan tujuan akhir. Maka jika sasaran yang menjadi tujuan (jihad) sudah terealisasi tanpa berperang, maka itulah yang dikehendaki dan tidak perlu melakukan peperangan. Sarana yang pertama untuk mencapai tujuan jihad itu adalah dakwah yang ditegakkan diatas ilmu mantiq (logika) dan perdebatan, membangkitkan potensi sumber daya manusia, berlaku adil dan menghindari akibat-akibat pada dirinya...Dan apabila tujuan jihad yang dimaksud tidak dapat dicapai, dengan gambaran upaya dakwah dilawan dengan pengingkaran dan penentangan hingga tiada jalan untuk menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara luas, maka wajib atas kaum muslimin untuk melanjutkan pada tahapan jihad yang kedua dengan berdasarkan perintah hakim muslim dan disyaratkan telah memiliki kemampuan untuk itu dan cara itu ialah perang secara terang-terangan.



Minggu, 12 Agustus 2018

Emoticon saat Jum'atan



Emoticon



Pertanyaan
Bagaimana hukum mengirim emoticon lewat media social saat khutbah Jum'ah bisa membuat ibadah tersebut sah atau tidak?

M Shalahuddin al-Ayyubi
Kudus

Jawaban:
Saudaraku M Shalahuddin al-Ayyubi di Kudus yang saya muliakan, semoga Allah menganugerahkan Rahmat-Nya atas kita, amin.

Mengeraskan suara khutbah oleh khotib merupakan syarat sah khutbah. Ukurannya sekira suara rukun-rukun khutbah dapat terdengar oleh 40 orang penentu ke-shahih-an penyelenggaraan Shalat Jum'at. Oleh karena itu, memperdengarkan (isma) khutbah oleh khotib dan mendengarkan khutbah oleh 40 orang penentu ke-shahih-an penyelenggaran Shalat Jum'at adalah menjadi syarat bagi khutbah.

Jadi apabila suara khotib telah dikeraskan sesuai ukuran standartnya maka syarat isma' (memperdengarkan khutbah) telah terpenuhi walaupun terdapat satu atau dua orang jama'ah tidak mendengarnya. Adapun memperhatikan khutbah dengan seksama (inshat) hukumnya sunnah.

Atas dasar penjelasan diatas, bahwa mengirim emoticon saat khutbah berlangsung walaupun masih mendengar khutbah, namun pasti mengganggu konsentrasi pada saat khutbah dan berarti meninggalkan kesunnahan inshat (memperhatikan khutbah) Oleh karena itu, mengirim emoticon memang tidak sampai mencacatkan syarat khutbah, namun demikian mengirim emoticon melanggar etika mengikuti khutbah Jum'at, karena menyalahi kesunnahan inshat

Referensi :
Mughni Muhtaj ila Ma'rifah Alfazh Al-Minhaj, Juz I, hal 553



Syarat khutbah yang ke-5 memperdengarkan khutbah kepada 40 orang yang sempurna (telah memenuhi syarat sebagai penentu ke-shahih-an penyelenggaraan shalat Jum'at). Maksudnya khatib mengeraskan suara rukun-rukun khutbah sekira bilangan orang-orang penentu ke-shahih-an penyelenggaraan shalat Jum'at dapat mendengarnya, karena tujuan khutbah menasihati mereka dan tujuan itu tidak dapat berhasil kecuali dengan memper-dengarkan khutbah. Jadi maklum bahwa khutbah disyaratkan harus diperdengarkan oleh khatib dan didengar oleh jama'ah walaupun mereka tidak memahami maknanya.




Sabtu, 11 Agustus 2018

Antara Hisab dan Ru'yat




Pertanyaan:
Assalamualikum Wr. Wb.

Alhamdulillah sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, hampir setiap tahunnya, pelaksanaan puasa dan lebaran selalu selalu berbeda dengan pendapat golongan masing-masing. Yang menjadi pertanyaan saya ustadz, lebih kuat mana menentukan lebaran antara berdasarkan hisab atau ru'yat menurut syari'at dan fatwa ulama'? Atas jawabannya saya haturkan Jazakumullah.
Abdul Azis- Surabaya

Jawaban:
Waalaikumusalam Wr. Wb.

Akhi Abdul Azis yang dimuliakan Allah SWT, berdasarkan hadits shahih bahwa menentukan masuknya bulan Ramadlan atau Syawal yaitu dengan salah satu dari tiga cara:

1. Ru'yatul hilal bil fil'li (melihat bulan secara langsung) Ini pendapat ulama' salaf dan dikerjakan langsung oleh para sahabat atas perintah Rasulullah SAW, sesuai beberapa hadits, diantaranya; hadits shahih riwayat Abu Daud dan Daruquthni dari Ibnu Umar beliau berkata, "Para manusia sama-sama melihat bulan, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah berpuasa dan menyuruh seluruh kaum muslimin agar berpuasa."

2. Istikmal (menyempurnakan 30 hari) Hal ini dilakukan jika pada tanggal 29 bulan tidak dapat dilihat karena mendung atau lainnya. Sesuai hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Puasalah karena melihat bulan dan berbukalah (berlebaran-lah) karena melihat bulan, kalau mendung bagi kamu sekalian maka sempurnakanlah hitungan Sya'ban 30 hari."
(HR. Muttafaq 'Alaih )

3. al-Hisab al-Falakiyah al-Qoth'i (melalui perhitungan dengan ilmu falak yang pasti dan akurat) Ini adalah pendapat ulama' mutaakkhirin di antaranya, Sayid Rasyid Ridlo menjelaskan tentang tafsir ayat puasa dalam majalah 'al-Manar', Syeikh Mushthafa al Zargo dan Syeikh Ahmad Muhammad Syakr, beliau menjawab pertanyaan, 'Apakah boleh menurut syari'at menetapkan awal bulan Hijriah berdasarkan hisab?' Kesimpulan dari jawabannya, boleh karena kaum muslimin berdasarkan ru'yah itu ketika mereka dalamkeadaan buta huruf (ummiyah) tetapi setelah berubah dan kaum muslimin sudah banyak yang bisa menulis dan menghitung dengan baik maka boleh menentukan awal bulan Ramadlan dan Syawal dengan perhitungan ilmiah yang akurat. (DR. Yusuf al-Qordlowi, Fiqh al-Shiyam: 23 - 26)

Akhi Abdul Aziz yang saya hormati, menentukan masuknya bulan Ramadlan atau Syawal itu memang ada tiga cara, dengan cara ru'yatul hilal, istikmal dan hisab. Mana yang lebih kuat? Yang lebih kuat, menurut penulis, adalah dengan cara 'ru'yatul hilal bil fi'li', sedangkan hisab hanya sebagai penunjang, yang akhirnya hasil hisab harus dikonfrontir dengan hasil ru'yat, dan jika tidak sama maka harus didahulukan ru'yat.

Hal ini berdasarkan apa yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat waktu itu tidak pernah menentukan awal Ramadlan dan Syawal dengan hisab tetapi selalu dengan ru'yat.

Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab
al-Majmu': 6/270, "Barangsiapa yang berkata dengan hisab itu ditolak. Berdasarkan sabda Nabi 'Kami ummat yang tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca."

Berikut ini penulis lampirkan hasil seminar
tentang hilal, waktu dan teknologi falakiyah, yang diselenggarakan di Kuwait pada tanggal 21-23 Rajab 1409 H/ 27 Januari 1 Februari 1929 M, atas prakarsa Forum Study Ilmiah Kuwait dan Yayasan Kemajuan ilmiah Kuwait. Dalam seminar itu dihadiri oleh ahli fiqh dari ahli falak dari negara-negara Arab yaitu Yordania, Emirat Arab, Jazair, Arab Saudi, Sudan, Oman Palestina, Oatar, Kuwait, Mesir Maroko, Yaman, dan Forum Study Fiqh di Jeddah. Seminar itu menghasilkan beberapa rekomendasi di antaranya: "Ru'yatul hilal itulah yang asal dalam menentukan masuknya bulan dan dibantu dengan hisab falaky dalam menentukan bulan dengan ruyat, demikian itu dengan memperhatikan batas kondisi ru'yah dalam masalah hari, jam, arah dan letak bulan. Tetapi 'tidak cukup dengan hisab' dalam itsbat (menetapkan hilal) bahkan harus dengan kesaksian yang diterima (syahadah mu'tabarah) atas ru'yat Maka jika hisab menunjukkan kemungkinan ru'yat dan tidak ada penghalang secara falakiyah, namun bulan tidak dapat dilihat maka harus menyempurnakan 30 hari."

Wallahu a'lam bisshowab.



Qurban Orang Banyak, Bolehkah ?



Pertanyaan :
Assalamualaikum Wr Wb.
Dalam rangka menyambut Idul Adha, kami membiasakan pelaksanaan kurban di kalangan siswa, sebagai pengurus OSIS kami menarik sumbangan dari siswa-siswi di sekolah saya. Sesuai kesepakatan uang itu akan dibelikan seekor sapi lalu diniatkan kurban untuk semua siswa yang nyumbang.

Pertanyaan saya adalah, bolehkah niat kurban seekor sapi untuk 400 siswa ?
Mamik - Surabaya

Jawaban : 
Waalaikumsalam Wr. Wb.
Mbak Mamik yang dimuliakan Allah SWT, niat baik anda membiasakan teman sekolahnya untuk berkurban dengan cara sumbangan itu baik sekali. Bahkan dalam syariat yang lain seperti sholat, puasa, pengajian Al-Qur'an, kajian ilmu keislaman dan lainnya perlu digiatkan di sekolah anda, agar nanti generasi muda ini menjadi generasi yang ber-iptek dan ber-imtaq.

Namun dalam masalah hewan kurban (udlhiyah) sebagai bagian dari syariat Islam ada syarat dan rukunnya. Diantaranya : Jenis hewan yang bisa dijadikan kurban adalah binatang ternak seperti kambing, sapi dan unta (bahimatul an'am), bukan sejenis ayam, burung dara dan semacamnya.

Juga hewan kurban itu sehat dan cukup umur serta tidak ada cacat fisik, seperti buta, pincang, sakit dan gila.

Nah, tentang jumlah orang yang berkurban untuk seekor sapi atau kambing ada ketentuan dari Rasulullah SAW Sesuai hadits dari Jabir ra. beliau berkata: "Kami menyembelih kurban bersama Rasulullah di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi untuk tujuh orang."(Akhrojahul Jama'ah).


Begitu juga hadits yang diriwayatkan 'Aisyah r.a, "bahwa Nabi Muhammad SAW berkurban seekor kambing untuk Muhammad SAW dan keluarganya dan berkurban dua kambing yang satu untuk Nabi Muhammad dan yang lain untuk umatnya." (HR. Abu Daud)

Dari hadits di atas mayoritas ahli fiqh sepakat bahwa berkurban seekor kambing untuk satu orang dan seekor sapi atau unta untuk tujuh orang, kalau lebih dari jumlah itu berarti bukan kurban, itu hanya shodaqah biasa saja. Kecuali pendapat Imam Maliki memperbolehkan berkurban seekor sapi lebih dari tujuh orang dengan persyaratan sebagai berikut; orang yang bersama-sama berkurban itu ada hubungan famili, dinafkahi oleh satu orang dan tinggal satu rumah. (Bidayatul Mujtahid : I/420)

Mbak Mamik yang saya muliakan, menyembelih satu sapi untuk 400 siswa-siswi di sekolah anda itu bukan dinamakan kurban (udlhiyah) sebagaimana yang dimaksud dalam fiqh, tetapi itu shadaqah biasa dan semua-siswi yang sumbangan dapat pahala shadaqoh, karena jumlah siswa-siswi yang sumbangan lebih dari tujuh orang. Tetapi kalau sistem arisan yang mana setiap tahun ditunjuk tujuh orang untuk satu sapi dan giliran setiap tahun sampai kebagian semua itu termasuk udlhiyah yang masyru'ah. Wallahu a'lam bisshawab.


Pernikahan, Bab Muamalah atau Ibadah




oleh : KH. ABDURRAHMAN NAVIS, LC., MH
Dewan Syariah Yayasan Nurul Hayat

Pernikahan, Bab Muamalah atau Ibadah?

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Ustadz, saya ingin bertanya perihal pernikahan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa nikah itu adalah sebuah ibadah. Tapi dari yang saya dengar dan saya tahu, Imam Syafi'i menempatkan bab pernikahan ke dalam bab muamalah atau jual beli, bukan ke dalam bab ibadah seperti shalat, puasa dan lain sebagainya.
Kenapa demikian ustadz? Apa yang melatar belakangi hal tersebut? Mohon penjelasannya.
Terimakasih. (Adit-Porong).

Jawaban:

Jawaban:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi
wabarakaatuh.

Bapak yang saya hormati, pernikahan adalah salah satu ibadah paling utama dalam pergaulan masyarakat Islam. Allah menganjurkan kita untuk menikah bukan hanya untuk membangun sebuah rumah tangga, tetapi juga untuk melanjutkan keturunan melalui cara-cara yang sesuai dengan kaidah dan norma agama Islam.

Dalam sebuah hadist Rasulullah
bersabda yang artinya: "Perempuan dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya nasabnya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah wanita yang mempunyai agama, engkau akan beruntung.
(HR. Bukhari, Muslim, al-Nasa'i, Abu Dawud Ibn Majah Ahmad ibn Hanbal, dan al-Darimi dalam kitabnya dari sahabat Abu Hurairah)

Hadist ini mengisyaratkan bagaimana memilih jodoh yang baik. Meski Nabi mendahulukan harta, nasab, dan kecantikan, namun junjungan alam ini dalam akhir hadistnya mengatakan bahwa sebaiknya memenangkan mereka yang baik agamanya.

Hal ini menandakan bahwa sebenarnya agama merupakan kriteria paling utama.

Berikut penjelasan dari masing-masing kriteria tersebut.

  1. Pilihlah jodoh yang baik agamanya. Yakni yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
  2. Enak dipandang karena kecantikan ketampanannya.
  3. Nasabnya atau silsilah keturunannya.
  4. Setara hartanya

Pernikahan itu secara niatnya memang ibadah, tapi teknisnya akad muamalah. Berdasarkan hal inilah maka pernikahan dimasukkan ke dalam bab muamalah karena hubungan yang terjadi adalah hubungan antara manusia dengan manusia. Maka, yang paling sering dibahas dalam pernikahan itu bukan masalah ibadahnya, bukan masalah niatnya tetapi lebih kepada masalah teknis pelaksanaan akadnya sehingga dimasukkan kedalam munakahat yang mana sebenarnya hal tersebut bukan termasuk muamalah.

Sebagaimana kita ketahui bersama, fiqih itu dibagi ke dalam empat bagian yaitu
1. Fiqih Ibadah
2. Fiqih Muamalah
3. Fiqih Munakahat, dan
4. Fiqih Jinayah.

Dan pernikahan sebenarnya tidak termasuk ke dalam fiqih muamalah, Oleh
karena itu niatnya ibadah tetapi teknisnya
hubungan antara sesama manusia. 


Ikhwan



Tadabbur QS. Ali Imron : 103

Yatsrib, kota kuno yang kemudian diganti namanya oleh Nabi Muhammad menjadi Madinah pasca hijrahnya Rasul telah dihuni oleh dua suku besar Aus dan Khazraj.

Qabilah Aus dan Khazraj adalah anak keturunan Haritsah bin Tsa'labah bin Amr Muzaiqiya. Amr Muzaiqiya, jauh sebelum era pra-Islam, merupakan salah seorang pemimpin Bani Azad yang memimpin kaumnya berhijrah dari Yaman setelah terjadi bencana yaitu pecahnya bendungan Ma'rib.

Bani Aus dan kerabatnya Bani Khazraj, meski terus menerus dalam permusuhan, sesungguhnya adalah keturunan dari ibu yang sama, yaitu Qailah binti Kahil istri Haritsah bin Tsa'labah. Dengan demikian keduanya secara bersama-sama juga mendapat julukan Bani Qailah.

Bani Aus kemudian beranak pinak dan terbagi ke dalam banyak keluarga seperti Bani Amru bin Auf dan Bani An-Nabit, sementara Bani Khazraj terpetakkan menjadi Bani Auf, Bani Al-Harits, Bani Sa'idah, Bani Jusyam, dan Bani an-Najjar.

Menurut Syeikh Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya, mereka terus menerus dalam peperangan dan permusuhan selama 120 tahun.

Muhammad bin Yusuf al-Kandahlawi menuturkan dalam Hayatus Shahabah gambaran dari percik permusuhan di antara keduanya. Suatu ketika orang Aus dan Khazraj sedang duduk dalam satu majelis Seorang lelaki Khazraj membacakan beberapa bait syair yang menyuburkan kemarahan orang-orang Aus.

Begitu pula seorang lelaki Aus membacakan beberapa bait syair yang menimbulkan kemarahan orang-orang Khazraj. Keadaan itu berkepanjangan hingga terjadi kegaduhan dan pertengkaran, Mereka mencabut pedang masing-masing untuk berperang.

Kejadian ini diberitahukan kepada Rasulullah, Lalu baginda Nabi segera menemui mereka dalam keadaan lututnya terbuka lalu beliau bersabda sembari mengutip surat Ali Imran ayat 102-103,

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnyataqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." 

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahilyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."(QS. Ali Imran: 102-3)


Melalui ayat ini, Allah memberikan resep mujarab untuk menghilangkan permusuhan akut yang berabad tak tersembuhkan dan hanya membawa kepada kehancuran di antara kedua suku tersebut.

Tafsir al-Wahidi merinci dua strategi untuk menghindarkan permusuhan melalui ayat ini yaitu menyeru mereka agar tetap berpegang teguh pada tali Allah  dengan persatuan (Al i'tisham bihablillah) dan jangan terus bertengkar seperti jaman jahiliyah (tafarruq).

Berpijak dari ayat ini, setidaknya terdapat empat strategi yang hendak diajarkan Al-Quran. Pertama, berpegang teguh kepada standard yang sama yakni Al Quran. Inilah yang disebut dengan l'tisham bihabillah.

Perselisihan dan permusuhan seringkali bermula dari pendapat dan visi yang berbeda yang tidak ditemukan titik temu sebagai konvergensinya. Strategi awal dalam penyelesaian pertikaian atau permusuhan yaitu kedua pihak harus bersepakat untuk mentaati titik yang sama, dan menerimanya sebagai standard bersama. Dan tentu standard ini tidak mungkin berasal dari salah satu pihak yang saling bertikai. Al-Quran hadir sebagai titik temu. Sebagai tali yang Allah ulurkan untuk melerai mereka, yang dijadikan standard bagi kaum Aus dan Khazraj.

Karenanya menurut Al Baydlawi dan Ibnul Jauzi, kata 'hablullah' di ayat ini bermakna Al Quran atau agama Islam secara general. Dan Allah bahkan menguatkan mereka harus berpegang teguh kepada Al Quran sebagai tali Allah ini dengan berjamaah, dengan keseluruhan dan totalitas seperti tersuratkan dengan lekatan kata jamiiaa

Ibnu Mas'ud menjelaskan bahwa makna jamaah adalah berpegang pada kebenaran. Beliau menutur, Inna al-jama'ah ma wafaqa thaa'atallah. Bahwa sesungguhnya jamaah itu adalah kesesuaian dengan taat pada Allah.

lbnu Masud ingin menegaskan bahwa standard jamaah bukanlah berdasarkan jumlah kuantitatif, tapi berdasarkan kebenaran kualitatif meskipun mungkin jumlahnya tidak banyak

Cara kedua adalah jangan ber-tafarruq. Setelah diserukan untuk berjamaah, maka pada kalimat ini ditegaskan larangan tafarruq, bercerai berai atau meninggalkan jamaah. Dalam memahami tali yang diulurkan yaitu Al-Quran, bisa saja terdapat perbedaan (ikhtilaf), dalam memahaminya tapi jangan sampai bercerai berai sebagaimana terjadi pada kelompok Yahudi dan Nashrani (tafarruq).

Perbedaan paham dan tafsir dalam masalah keagamaan mungkin tidak terhindarkan, tapi yang penting kita dilarang untuk bertafarruq

Rasul bersabda, "Jamaah itu mendatangkan rahmat, dan perpecahan mendatangkan siksa."

Cara ketiga, mengingat positive impact yang dalam ayat ini dikemukakan dengan kalimat "ingatlah akan níkmat Allah kepadamu.' Nikmat ini kemudian dirinci ketika kamu (Aus dan Khazraj) dahulu (masa Jahililyah) kalian bermusuh musuhan a'daan kemudian Allah melunakan hatimu dan kamu kemudian menjadi ikhwan/saudara.

Permusuhan di ayat ini digambarkan sebagai keadaan berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan daripadanya.

Dalam sebagaian rasm Al Quran, terdapat keunikan perubahan penulisan kata permusuhan dengan menggunakan alif menjadi persaudaraan yang ditulis dengan tanpa tambahan alif  Ikhwanaa tapi dengan harakat kha dipanjangkan.

Sebagian mufassir melihat bahwa Al Quran seakan-akan hendak menegaskan ketika orang bermusuhan ada alif pemisah di antara mereka, dan saat dia berhasil merubah musuh menjadi saudara maka alif-nya pun kemudian menghilang.

Gambaran dari perubahan ini nampak dalam pada kisah Zaid bin Tsabit. Dahulu di
masa Jahiliyah, suku Aus berbangga dengan tokoh-tokohnya. Mereka berbangga memiliki Huzaimah bin Tsabit yang digelari dengan Shohibu Iman wa Nuraniyy, yang nilai persaksiannya dinilai dobel oleh Rasul.

Mereka juga berbangga memiliki Handzalah bin al-Rahib yang dimandikan Malaikat (Ghasilul Malaikah). Sementara orang-orang Khazraj berbangga dengan Ubay bin Kaab dan Zaid bin Tsabit. Keindahan terjadi saat hati mereka dilunakkan dalam persaudaran.

Zaid Bin Tsabit yang ditugasi mengkodifikasikan Al Quran, tapi hanya akan menulis ayat Allah jika terdapat bukti tertulis dan diteguhkan dengan dua orang saksi. Ketika hendak akan menyalin akhir surat Tawbah, Zaid bin Tsabit telah mendapatkan bukti tertulis tapi tidak didapati dua orang saksi. Huzaimah datang memberikan persaksian, dan sebagaimana Rasul bersabda "Jika Huzaimah bersaksi maka sudah tercukupi." Maka Zaid dari suku Khazraj mendapatkan bantuan dari Huzaimah yang berasal dari suku Aus.

Sungguh menawannya buah dari persaudaraan."



Selasa, 07 Agustus 2018

Ujian Hidup



 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” 
[HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675]

Kehidupan yang kita lalui tidak akan sepenuhnya selalu menyenangkan, kadang kala kita merasa berputus asa dalam menyikapi ujian hidup yang datang bertubi-tubi.

Manusia sering menganggap bentuk ujian hidup hanyalah berupa penderitaan dan kesedihan belaka. Padahal kecukupan dan kebahagiaan pun adalah wujud dari ujian. 

Namun kita kadang lupa menganggap semua kesenangan itu sebagai ujian. Ujian yang berupa kebahagiaan sering membuat kita lupa untuk selalu bersyukur kepada Allah yang telah memberi nikmat tersebut sehingga kita sering tidak menginginkan ujian yang berupa kesenangan dan kebahagiaan itu cepat berlalu. 

Namun, sangat berbeda degan saat dimana kita menghadapi ujian yang berupa kesedihan, kekecewaan, sakit, kekurangan atau tertimpa musibah, pasti kita menginginkan semuanya cepat berlalu. Disaat itulah baru kita ingat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Kita mengetuk pintuNya di tengah malam, menangis dan mengadukan nasib yang menimpa.

Menurut Hadits tersebut bahwa Allah senang dengan hamba yang kembali padaNya. 

Allah senang melihat hambaNya yang mengetuk pintuNya di tengah malam, 

Allah senang melihat hambaNya berdoa dan menangis mengharapkan pertolonganNya. 

Allah senang dengan hambaNya yang mendekat dan mengingatNya. 

Allah senang dengan hamba yang tidak menggantungkan hidupnya kepada sesama makhluk. 

Allah senang dengan prasangka baik hambaNya. Satu hal penting yang harus selalu kita ingat yaitu disaat kita tengah mendapat ujian seberat apapun kita harus ingat dan selalu percaya diri bahwa kita akan mampu menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan baik karena Allah tidak akan memberi beban kepada seseorang melebihi batas kemampuannya. 

Yakinlah bahwa semua cobaan dan ujian pahit yang diberikan Allah pasti mampu kita lalui. 

Allah tidak bermain-main dalam hal penciptaan apapun. Allah sangat mengetahui dan memahami akan kemampuan hamba-hambaNya. 

Setiap dari permasalahan yang kita hadapi pasti ada hikmah di dalamnya. Dari permasalahan tersebut kita dapat menjadikannya sebagai pelajaran hidup, menjadikan kita pribadi yang sabar, lebih tegar dan kuat dalam menghadapi setiap masalah, ujian, dan cobaan yang tengah menimpa.

Sebagaimana besi yang ditempa akan menjadi kuat dan kokoh, batu bata yang dibakar akan menjadi tidak mudah pecah, begitu juga masalah yang menimpa akan membuat pribadi tersebut menjadi seseorang yang lebih matang nantinya.

Firman Allah Subhanahu wata'ala yang berkaitan dengan tema hadits tersebut adalah

وَلَـنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَـوْفِ وَالْجُـوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ  الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِ ۗ  وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ 

wa lanabluwannakum bisyai`im minal-khoufi wal-juu'i wa naqshim minal-amwaali wal-anfusi was-samaroot, wa basysyirish-shoobiriin

"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,"
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 155)

Demikian, semoga bermanfaat,. 

Aqulu qauli hadza, wa astaghfirullahal Adzim li wa lakum. 

ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ

Subhanaka Allahuma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik... 

“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu”.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺑَﻠِّﻐُﻮﺍ ﻋَﻨِّﻰ ﻭَﻟَﻮْ ﺁﻳَﺔً

“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”
(HR.Bukhari)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻫُﺪًﻯ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍْﻷَﺟْﺮِ ﻣِﺜْﻞُ ﺃُﺟُﻮْﺭِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻭَﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٍ ، ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢِ ﻣِﺜْﻞُ ﺁﺛَﺎﻡِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺁﺛَﺎﻣِﻬِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ

Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.
(HR.Muslim)

Dakwah di jalan Allâh Azza wa Jalla merupakan amal yang sangat mulia, ketaatan yang besar dan ibadah yang tinggi kedudukannya di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(QS.Ali-Imran [3] :104)