Ada beberapa perbedaan pendapat yang berkembang seputar tanggungan puasanya seseorang yang belum diqadha hingga datangnya bulan ramadhan berikutnya,
Versi Imam Hanafi
Mengqadha sesuai berapa hari puasa yang ditinggalkan (baik menunda qadha'nya karena udzur/tidak). Berdasarkan dhahirnya Firman Allah : “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Albaqaarah Ayat 184).
Versi Imam Syafi’I, Maliki dan Imam Hambali
Mengqadha sesuai berapa hari puasa yang ditinggalkan ditambah membayar Fidyah bila menunda qadhanya karena tanpa adanya udzur berdasarkan sabda Rasulullah saw : "Barangsiapa yang memutuskan puasa dibulan ramadhan dan tidak mengqadha'nya sampai datang bulan ramadhan berikutnya maka dia wajib berpuasa untuk hari itu, kemudian baru puasa qadha dan memberi makanan setiap hari terhadap orang miskin (HR Baehaqi). Namun pijakan Imam syafi'i dalam wajibnya mengqadha ditambah fidyah dalam masalah ini bukan berpijak pada hadits dhaif ini melainkan berdasarkan ijma ulama.
Versi Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Sa'id bin Zubair
Tanggungan qadha puasanya berubah menjadi membayar fidyah bukan qadha puasa lagi berdasarkan Hadits Nabi : "Apabila tanggungan qadha puasa masih tetap (belum dipenuhi) hingga datangnya bulan puasa berikutnya maka dia wajib membayar kafarat (HR Baehaqi). [ Dinukil dari Kitab Madzahib Al-Arba'ah 1/902-905 ].
CARA MENGQADHA PUASA YANG TELAH LUPA
Wajib mengqadhai puasanya di selain hari-hari yang ia yakini telah dikerjakan puasanya, terhitung sejak ia mulai baligh. Niat melakukan qadha puasa ramadhannya dengan tanpa ditentukan waktunya (hari / tahunnya)
وعبارة الزواجر الحادي عشر أي من شروط التوبة التدارك فيما إذا كانت المعصية بترك عبادة ففي ترك نحو الصلاة والصوم تتوقف صحة توبته على قضائها لوجوبها عليه فورا وفسقه بتركه كما مر فإن لم يعرف مقدار ما عليه من الصلوات مثلا قال الغزالي تحرى وقضى ما تحقق أنه تركه من حين بلوغه
Redaksi dalam kitab az-Zawaajir : Yang no. 11 (dari syarat-syaratnya taubat) adalah menyusul dan membenarkan kesalahan/maksiat yang telah ia perbuat akibat meninggalkan ibadah dimasa silam, dalam meninggalkan semacam shalat dan puasa misalnya, untuk dapat mengabsahkan taubatnya harus diqadha terlebih dahulu karena mengqadhanya diwajibkan sesegera mungkin dan dihukumi fasik bila ditinggalkan seperti keterangan yang telah lewat.
Bila tidak diketahui jumlah yang wajib ia qadha seperti dalam kasus shalat (juga puasa) menurut al-Ghazali wajib baginya meneliti dan mengqadha yang telah nyata ia tinggalkan mulai masa balighnya. [ I’aanah at-Thoolibiin IV/294, Is’aad ar-Rofiiq Hal. 143 ].
ولو علم أنه صام بعض الليالي وبعض الأيام ولم يعلم مقدار الأيام التي صامها فظاهر أنه يأخذ باليقين فما تيقنه من صوم الأيام أجزأه وقضى ما زاد عليه سم*
[ Hawaasyi as-Syarwaani III]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar