(Ilustrasi : Imam Hasan Al-Bishri)
Hasan Al-Bishri, salah seorang ulama tabiin, suatu ketika didatangi oleh seseorang yang mengadukan tentang daerahnya yang kering kerontang dan tidak mendapat hujan. Maka, ia berkata "Mohonlah ampun kepada Allah SWT."
Kemudian, datanglah seseorang mengadukan tentang kemiskinannya.
Ia pun berkata, "Mohonlah ampun kepada Allah."
Tak lama kemudian, datang pula seseorang minta didoakan agar dikaruniai anak. Imam Hasan Al-Bashri pun menyuruhnya supaya beristighfar.
Kemudian datang lagi yang lain mengadukan tentang kebunnya yang tandus, beliau pun memintanya supaya beristighfar pula.
Hal ini membuat para sahabatnya menjadi penasaran dengan jawaban yang mereka berikan dan menanyakannya mengapa semua perkara tadi solusinya hanya satu, yaitu beristighfar?
Beliau pun menjawab, "Saya tidak mengatakan semua itu secara asal-asalan. Tetapi, berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat Nuh ayat 10-12 Artinya, "Maka aku katakan kepada mereka; mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadaku dengan lebat, dan membanyakkan harta anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai."
Begitulah kejelian seorang ulama yang tidak memandang satu persoalan dari sisi kulitnya saja, melainkan tertuju pada akar persoalan sebagaimana yang dibimbing oleh wahyu ilahi.
Bandingkan dengan orang-orang pada zaman sekarang yang hanya mengedepankan rasio saja dalam menganalisis masalah.
Bila negerinya tertimpa bencana apakah itu kekeringan, kebakaran, gempa bumi, banjir, wabah penyakit, hama tanaman, dan lain sebagainya mereka segera tidak segera berfikir bahwa semua itu tidak lain adalah akibat dari dosa-dosa yang dilakukanya.
Kerangka berpikir yang salah seperti inilah yang kemudian memunculkan kesalahan dalam mengambil solusi dari bencana yang menimpa. Padahal, Allah SWT. telah berfirman. "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah SWT, memaafkan sebagian besar (dari kesalahan kesalahanmu)" (Qs Al-Syura[42]:30).
Akhirnya, mereka hanya mengandalkan kekuatan otak dan materi belaka dalam menyelesaikan persoalan, sementara istighfar dalam arti sebenarnya yaitu mengikhlaskan niat kepada Allah SWT. dan menghentikan perbuatan-perbuatan dosa, yang merupakan bagian asal dari solusi permasalahan, tidak pernah tersentuh dalam pembicaraan apalagi sampai diamalkan.
Kalau boleh dikatakan, hari ini kita adalah orang-orang yang melalaikan istighfar. Padahal, kalau melihat kondisi yang ada, sudah selayaknya kita lebih membutuhkan istighfar karena tingkat kemiskinan hari ini sangat jauh berlipat ganda. Hari-hari kita senantiasa diisi dengan dosa.
Bukankah zina, dusta, riba, ghibah, korupsi, mengurangi timbangan dan segudang dosa-dosa besar lainnya sudah menjadi barang biasa pada masyarakat sekitar? Ironisnya, dosa-dosa itu kita anggap sebagai angin lalu. Seakan tidak membahayakan diri kita. Na'udzubillah min dzalik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar