Mungkin tak dapat terlupakan oleh warga Surabaya peristiwa bom yang diledakkan di beberapa lokasi di Surabaya dalam waktu hampir besamaan yaitu Ahad, 13 Mei 2018 yang saat itu tengah berlangsung Istighatsah di Mapolda Jatim dalam rangkaian HUT Bayangkara sekaligus Jawa Timur Damai Pemilukada 2018. Motif pengeboman mungkin bisa bermacam-macam, salah satunya bisa jadi atas nama doktrin agama (yang sebenarnya bukan ajaran agama) bahwa membunuh orang beragama lain diyakini sebagai jihad. Dugaan ini mendekati benar sebab adanya indikator yaitu tiga ledakan terjadi di lokasi tempat ibadah agama lain.
Kita tidak diperkenankan memposisikan warga negara non muslim sebagai musuh dan boleh untuk diperangi, melainkan justru kita berkewajiban untuk menyerukan dan mengajak mereka agar dapat menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara tetap aman dan hidup berdampingan secara damai, mengingat negara ini didirikan bersama oleh seluruh komponen bangsa dari berbagai suku bangsa, agama dan keyakinan yang berbeda-beda secara bahu membahu.
Atas dasar pertimbangan fakta sejarah itulah, maka para pejuang muslim pendiri negara ini lebih memprioritaskan persatuan anak bangsa dari pada menonjolkan simbul agama ke dalam sistem ke-tata negara-an, namun perpecahan dan perang saudara selalu menjadi ancaman.
- Apa pengertian ijhad bagi umat Islam dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah merdeka dan damai ?
- Benarkah tindak kekerasan (teror) dan bom bunuh diri merepresentasikan jíhad bagi kaum muslimin ?
- Apakah terhadap warga negara Indonesia yang menganut keyakinan/agama lain harus diposisikan sebagai musuh atau lawan dalam mengimplementasikan konsep jihad dengan menggunakan senjata?
Jawaban :
Jihad bagi umat Islam dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah merdeka dan damai, yaitu mencurahkan kesungguhan dalam upaya mengajak masyarakat Islam Indonesia agar menjalankan syariat agama Islam secara benar sehingga kalimah Allah menjadi mulia di seluruh penjuru tanah air bahkan seluruh dunia. Oleh karena itu, jihad harus terus digelorakan kapan saja dan di mana saja dengan senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta menghindari timbulnya kekacauan, apalagi sampai melakukan aksi terror anarkhis dan bom bunuh diri.
Jihad dengan pengertian di atas, mencakup banyak cara dan strategi sesuai tuntutan kondisi dan situasinya. Oleh sebab itu, tindakan teror sangat tidak tepat dan tidak cocok dijadikan cara dan strategi berjihad di negara aman dan damai seperti Indonesia. Sebab sejarah perjuangan (jihad) umat Islam dengan ulama'nya melalui pendekatan pendidikan, diskusi, jalur politik, perdagangan, budaya, kesenian dan lain-lain, telah terbukti dan teruji sangat efektif bagi penyebaran dan penegakan syariat Islam bagi bangsa Indonesia hingga saat ini.
Kita tidak diperkenankan memposisikan warga negara non muslim sebagai musuh dan boleh untuk diperangi, melainkan justru kita berkewajiban untuk menyerukan dan mengajak mereka agar dapat menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara tetap aman dan hidup berdampingan secara damai, mengingat negara ini didirikan bersama oleh seluruh komponen bangsa dari berbagai suku bangsa, agama dan keyakinan yang berbeda-beda secara bahu membahu.
Atas dasar pertimbangan fakta sejarah itulah, maka para pejuang muslim pendiri negara ini lebih memprioritaskan persatuan anak bangsa dari pada menonjolkan simbul agama ke dalam sistem ke-tata negara-an, namun perpecahan dan perang saudara selalu menjadi ancaman.
Referensi:
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab al-Imam asy-Syafi't, juz II hal 475 [Damaskus: Dar al-Qalam dan Dar asy-Syamiyah, 1416 H/1996 M]
Kata jihad dalam arti bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja "Ja-ha-da" artinya ialah mencurahkan kesungguhan dalam mencapai tujuan apapun. Kata jihad dalam istilah syariat Islam: Mencurahkan kesungguhan dalam upaya menegakkan masyarakat yang Islami dan agar kalimah Allah (ajaran tauhid din al-Islam) menjadi mulia serta syari'at Allah dapat dilaksanakan di seluruh penjuru dunia.
Mughni al-Muhtaj, Muhammad al-Khathib asy-Syirbini, IV/262 [Dar al-Fikr)
Kwajiban berjihad merupakan kewajiban perantara demi mewujudkan tujuan, bukan kewajiban melaksanakan tujuan.
karena maksud berperang hanya terwujudnya hidayah Allah (bagi masyarakat) dan lainnya yaitu gugur syahid. Adapun membunuh orang kafir bukan merupakan tujuan sehingga jika terwujudnya hidayah bisa dicapai dengan cara menegakkan dalil (argumen) tanpa dengan cara jihad, maka hal itu lebih utama dari pada jihad.
Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz IIl hal 167:
Tindakan semena-mena yang bisa menimbulkan bahaya atau kedhaliman adalah dilarang, sebagaimana halnya tindakan sewenang-wenang dalam menimbun bahan makanan pokok, tindakan sewenang-wenang oleh salah seorang rakyat dalam suatu hal yang menjadi adalah dilarang, sebagaimana halnya yang menjadi kewenangan khusus imam/pemimpin seperti jihad, dan tindakan semena-mena dalam menegakkan hukuman had dengan tanpa seizin imam.
Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz VI hal 285-286:
Bunuh diri hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para ulama dan dipandang dosa yang paling besar setelah syirik kepada Allah.
Allah berfirman (artinya): Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang haq" dan Firman Allah (artinya): "Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kamu semua.
Para Fuqaha menetapkan bahwa orang yang melakukan bunuh diri lebih besar dosanya dari pada orang yang membunuh
orang lain, dan dialah orang fasiq dan menganiaya dirinya, hingga sebagian ulama mengatakan bahwa dia tidak dimandikan dan dishalati sebagaimana para pembangkang.
Ada pendapat lain, bahwa dia tidak diterima taubatnya karena memberatkan atas kesalahannya sebagaimana dlahirnya sebagian teks hadits menunjukkan keabadiannya dalam neraka.
Di antaranya sabda Rasulullah, "Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari gunung hingga membunuh diri sendiri, maka ia akan menjatuhkan dirinya sendiri di neraka jahannam selama-lamanya"
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz VII hal 5846:
Jadi jihad bisa dilakukan dengan cara mengajar, mempelajari hukum-hukum Islam dan menyebarluaskannya, membelanjakan harta benda dan berpartisipasi berperang menghadapi musuh bila imam/pimpinan telah menginstruksikan jihad (perang), sebab berdasar firman Allah: "Perangilah orang-orang musyrik dengan harta kalian, jiwa dan lisan kalian".
Fatawa as-Subki, hal 340-341
Maksud daripada jihad adalah terwujudnya hidayah bagi masyarakat dan mengajak mereka kepada ajaran tauhid dan syariat Islam, serta mengupayakan keberhasilannya bagi mereka dan anak cucunya sampai hari kiamat. Jadi jihad tidak berarti apa-apa (selain hanya sebagai perantara), Sehingga apabila tujuan di atas masih bisa dicapai dengan kegiatan ilmiah, diskusi dan meluruskan ajaran-ajaran yang rancu, maka itu lebih utama.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa "Tinta para ulama lebih utama dari pada darah para syuhada'
Dan jika tujuan di atas tidak bisa dicapai kecuali harus melalui jalan perang, maka kita bolehlah berperang guna mencapai satu di antara tujuan akhir dari perang yaitu (1) terwujudnya hidayah masyarakat, dan ini tingkatan yang tertinggi (2) agar memperoleh status mati syahid dan ini tingkatan menengah melihat pada tujuan jihad. Akan tetapi merupakan tingkatan yang mulia, karena telah menyerahkan jiwanya demi terwujud sesuatu yang paling mulia. Dan merupakan tingkatan yang paling utama melihat pada jihad sebagai perantara, bukan sebagai tujuan (yang tentu saja lebih utama dari perantaranya)
Sedangkan tujuan jihad semata-mata hanyalah agar kalimat Allah (Kalimah Tauhid dan Dinul Islam) menjadi mulia. Dan (3) membunuh orang kafir dan ini merupakan tingkatan yang ketiga yang sebenarnya bukan tujuan dari jihad
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab al-Imam asy-Syafi'i, 486:
Ketahuilah bahwa memerangi kaum kafir adalah merupakan sarana/alat dan bukan tujuan akhir. Maka jika sasaran yang menjadi tujuan (jihad) sudah terealisasi tanpa berperang, maka itulah yang dikehendaki dan tidak perlu melakukan peperangan. Sarana yang pertama untuk mencapai tujuan jihad itu adalah dakwah yang ditegakkan diatas ilmu mantiq (logika) dan perdebatan, membangkitkan potensi sumber daya manusia, berlaku adil dan menghindari akibat-akibat pada dirinya...Dan apabila tujuan jihad yang dimaksud tidak dapat dicapai, dengan gambaran upaya dakwah dilawan dengan pengingkaran dan penentangan hingga tiada jalan untuk menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara luas, maka wajib atas kaum muslimin untuk melanjutkan pada tahapan jihad yang kedua dengan berdasarkan perintah hakim muslim dan disyaratkan telah memiliki kemampuan untuk itu dan cara itu ialah perang secara terang-terangan.
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab al-Imam asy-Syafi't, juz II hal 475 [Damaskus: Dar al-Qalam dan Dar asy-Syamiyah, 1416 H/1996 M]
Kata jihad dalam arti bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja "Ja-ha-da" artinya ialah mencurahkan kesungguhan dalam mencapai tujuan apapun. Kata jihad dalam istilah syariat Islam: Mencurahkan kesungguhan dalam upaya menegakkan masyarakat yang Islami dan agar kalimah Allah (ajaran tauhid din al-Islam) menjadi mulia serta syari'at Allah dapat dilaksanakan di seluruh penjuru dunia.
Mughni al-Muhtaj, Muhammad al-Khathib asy-Syirbini, IV/262 [Dar al-Fikr)
Kwajiban berjihad merupakan kewajiban perantara demi mewujudkan tujuan, bukan kewajiban melaksanakan tujuan.
karena maksud berperang hanya terwujudnya hidayah Allah (bagi masyarakat) dan lainnya yaitu gugur syahid. Adapun membunuh orang kafir bukan merupakan tujuan sehingga jika terwujudnya hidayah bisa dicapai dengan cara menegakkan dalil (argumen) tanpa dengan cara jihad, maka hal itu lebih utama dari pada jihad.
Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz IIl hal 167:
Tindakan semena-mena yang bisa menimbulkan bahaya atau kedhaliman adalah dilarang, sebagaimana halnya tindakan sewenang-wenang dalam menimbun bahan makanan pokok, tindakan sewenang-wenang oleh salah seorang rakyat dalam suatu hal yang menjadi adalah dilarang, sebagaimana halnya yang menjadi kewenangan khusus imam/pemimpin seperti jihad, dan tindakan semena-mena dalam menegakkan hukuman had dengan tanpa seizin imam.
Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz VI hal 285-286:
Bunuh diri hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para ulama dan dipandang dosa yang paling besar setelah syirik kepada Allah.
Allah berfirman (artinya): Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang haq" dan Firman Allah (artinya): "Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kamu semua.
Para Fuqaha menetapkan bahwa orang yang melakukan bunuh diri lebih besar dosanya dari pada orang yang membunuh
orang lain, dan dialah orang fasiq dan menganiaya dirinya, hingga sebagian ulama mengatakan bahwa dia tidak dimandikan dan dishalati sebagaimana para pembangkang.
Ada pendapat lain, bahwa dia tidak diterima taubatnya karena memberatkan atas kesalahannya sebagaimana dlahirnya sebagian teks hadits menunjukkan keabadiannya dalam neraka.
Di antaranya sabda Rasulullah, "Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari gunung hingga membunuh diri sendiri, maka ia akan menjatuhkan dirinya sendiri di neraka jahannam selama-lamanya"
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz VII hal 5846:
Jadi jihad bisa dilakukan dengan cara mengajar, mempelajari hukum-hukum Islam dan menyebarluaskannya, membelanjakan harta benda dan berpartisipasi berperang menghadapi musuh bila imam/pimpinan telah menginstruksikan jihad (perang), sebab berdasar firman Allah: "Perangilah orang-orang musyrik dengan harta kalian, jiwa dan lisan kalian".
Fatawa as-Subki, hal 340-341
Maksud daripada jihad adalah terwujudnya hidayah bagi masyarakat dan mengajak mereka kepada ajaran tauhid dan syariat Islam, serta mengupayakan keberhasilannya bagi mereka dan anak cucunya sampai hari kiamat. Jadi jihad tidak berarti apa-apa (selain hanya sebagai perantara), Sehingga apabila tujuan di atas masih bisa dicapai dengan kegiatan ilmiah, diskusi dan meluruskan ajaran-ajaran yang rancu, maka itu lebih utama.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa "Tinta para ulama lebih utama dari pada darah para syuhada'
Dan jika tujuan di atas tidak bisa dicapai kecuali harus melalui jalan perang, maka kita bolehlah berperang guna mencapai satu di antara tujuan akhir dari perang yaitu (1) terwujudnya hidayah masyarakat, dan ini tingkatan yang tertinggi (2) agar memperoleh status mati syahid dan ini tingkatan menengah melihat pada tujuan jihad. Akan tetapi merupakan tingkatan yang mulia, karena telah menyerahkan jiwanya demi terwujud sesuatu yang paling mulia. Dan merupakan tingkatan yang paling utama melihat pada jihad sebagai perantara, bukan sebagai tujuan (yang tentu saja lebih utama dari perantaranya)
Sedangkan tujuan jihad semata-mata hanyalah agar kalimat Allah (Kalimah Tauhid dan Dinul Islam) menjadi mulia. Dan (3) membunuh orang kafir dan ini merupakan tingkatan yang ketiga yang sebenarnya bukan tujuan dari jihad
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab al-Imam asy-Syafi'i, 486:
Ketahuilah bahwa memerangi kaum kafir adalah merupakan sarana/alat dan bukan tujuan akhir. Maka jika sasaran yang menjadi tujuan (jihad) sudah terealisasi tanpa berperang, maka itulah yang dikehendaki dan tidak perlu melakukan peperangan. Sarana yang pertama untuk mencapai tujuan jihad itu adalah dakwah yang ditegakkan diatas ilmu mantiq (logika) dan perdebatan, membangkitkan potensi sumber daya manusia, berlaku adil dan menghindari akibat-akibat pada dirinya...Dan apabila tujuan jihad yang dimaksud tidak dapat dicapai, dengan gambaran upaya dakwah dilawan dengan pengingkaran dan penentangan hingga tiada jalan untuk menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara luas, maka wajib atas kaum muslimin untuk melanjutkan pada tahapan jihad yang kedua dengan berdasarkan perintah hakim muslim dan disyaratkan telah memiliki kemampuan untuk itu dan cara itu ialah perang secara terang-terangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar