Tadabbur QS. Ali Imron : 103
Yatsrib, kota kuno yang kemudian diganti namanya oleh Nabi Muhammad menjadi Madinah pasca hijrahnya Rasul telah dihuni oleh dua suku besar Aus dan Khazraj.
Qabilah Aus dan Khazraj adalah anak keturunan Haritsah bin Tsa'labah bin Amr Muzaiqiya. Amr Muzaiqiya, jauh sebelum era pra-Islam, merupakan salah seorang pemimpin Bani Azad yang memimpin kaumnya berhijrah dari Yaman setelah terjadi bencana yaitu pecahnya bendungan Ma'rib.
Bani Aus dan kerabatnya Bani Khazraj, meski terus menerus dalam permusuhan, sesungguhnya adalah keturunan dari ibu yang sama, yaitu Qailah binti Kahil istri Haritsah bin Tsa'labah. Dengan demikian keduanya secara bersama-sama juga mendapat julukan Bani Qailah.
Bani Aus kemudian beranak pinak dan terbagi ke dalam banyak keluarga seperti Bani Amru bin Auf dan Bani An-Nabit, sementara Bani Khazraj terpetakkan menjadi Bani Auf, Bani Al-Harits, Bani Sa'idah, Bani Jusyam, dan Bani an-Najjar.
Menurut Syeikh Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya, mereka terus menerus dalam peperangan dan permusuhan selama 120 tahun.
Menurut Syeikh Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya, mereka terus menerus dalam peperangan dan permusuhan selama 120 tahun.
Muhammad bin Yusuf al-Kandahlawi menuturkan dalam Hayatus Shahabah gambaran dari percik permusuhan di antara keduanya. Suatu ketika orang Aus dan Khazraj sedang duduk dalam satu majelis Seorang lelaki Khazraj membacakan beberapa bait syair yang menyuburkan kemarahan orang-orang Aus.
Begitu pula seorang lelaki Aus membacakan beberapa bait syair yang menimbulkan kemarahan orang-orang Khazraj. Keadaan itu berkepanjangan hingga terjadi kegaduhan dan pertengkaran, Mereka mencabut pedang masing-masing untuk berperang.
Begitu pula seorang lelaki Aus membacakan beberapa bait syair yang menimbulkan kemarahan orang-orang Khazraj. Keadaan itu berkepanjangan hingga terjadi kegaduhan dan pertengkaran, Mereka mencabut pedang masing-masing untuk berperang.
Kejadian ini diberitahukan kepada Rasulullah, Lalu baginda Nabi segera menemui mereka dalam keadaan lututnya terbuka lalu beliau bersabda sembari mengutip surat Ali Imran ayat 102-103,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnyataqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam."
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahilyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."(QS. Ali Imran: 102-3)
Melalui ayat ini, Allah memberikan resep mujarab untuk menghilangkan permusuhan akut yang berabad tak tersembuhkan dan hanya membawa kepada kehancuran di antara kedua suku tersebut.
Tafsir al-Wahidi merinci dua strategi untuk menghindarkan permusuhan melalui ayat ini yaitu menyeru mereka agar tetap berpegang teguh pada tali Allah dengan persatuan (Al i'tisham bihablillah) dan jangan terus bertengkar seperti jaman jahiliyah (tafarruq).
Berpijak dari ayat ini, setidaknya terdapat empat strategi yang hendak diajarkan Al-Quran. Pertama, berpegang teguh kepada standard yang sama yakni Al Quran. Inilah yang disebut dengan l'tisham bihabillah.
Perselisihan dan permusuhan seringkali bermula dari pendapat dan visi yang berbeda yang tidak ditemukan titik temu sebagai konvergensinya. Strategi awal dalam penyelesaian pertikaian atau permusuhan yaitu kedua pihak harus bersepakat untuk mentaati titik yang sama, dan menerimanya sebagai standard bersama. Dan tentu standard ini tidak mungkin berasal dari salah satu pihak yang saling bertikai. Al-Quran hadir sebagai titik temu. Sebagai tali yang Allah ulurkan untuk melerai mereka, yang dijadikan standard bagi kaum Aus dan Khazraj.
Karenanya menurut Al Baydlawi dan Ibnul Jauzi, kata 'hablullah' di ayat ini bermakna Al Quran atau agama Islam secara general. Dan Allah bahkan menguatkan mereka harus berpegang teguh kepada Al Quran sebagai tali Allah ini dengan berjamaah, dengan keseluruhan dan totalitas seperti tersuratkan dengan lekatan kata jamiiaa
Karenanya menurut Al Baydlawi dan Ibnul Jauzi, kata 'hablullah' di ayat ini bermakna Al Quran atau agama Islam secara general. Dan Allah bahkan menguatkan mereka harus berpegang teguh kepada Al Quran sebagai tali Allah ini dengan berjamaah, dengan keseluruhan dan totalitas seperti tersuratkan dengan lekatan kata jamiiaa
Ibnu Mas'ud menjelaskan bahwa makna jamaah adalah berpegang pada kebenaran. Beliau menutur, Inna al-jama'ah ma wafaqa thaa'atallah. Bahwa sesungguhnya jamaah itu adalah kesesuaian dengan taat pada Allah.
lbnu Masud ingin menegaskan bahwa standard jamaah bukanlah berdasarkan jumlah kuantitatif, tapi berdasarkan kebenaran kualitatif meskipun mungkin jumlahnya tidak banyak
Cara kedua adalah jangan ber-tafarruq. Setelah diserukan untuk berjamaah, maka pada kalimat ini ditegaskan larangan tafarruq, bercerai berai atau meninggalkan jamaah. Dalam memahami tali yang diulurkan yaitu Al-Quran, bisa saja terdapat perbedaan (ikhtilaf), dalam memahaminya tapi jangan sampai bercerai berai sebagaimana terjadi pada kelompok Yahudi dan Nashrani (tafarruq).
Perbedaan paham dan tafsir dalam masalah keagamaan mungkin tidak terhindarkan, tapi yang penting kita dilarang untuk bertafarruq
Rasul bersabda, "Jamaah itu mendatangkan rahmat, dan perpecahan mendatangkan siksa."
Cara ketiga, mengingat positive impact yang dalam ayat ini dikemukakan dengan kalimat "ingatlah akan níkmat Allah kepadamu.' Nikmat ini kemudian dirinci ketika kamu (Aus dan Khazraj) dahulu (masa Jahililyah) kalian bermusuh musuhan a'daan kemudian Allah melunakan hatimu dan kamu kemudian menjadi ikhwan/saudara.
Permusuhan di ayat ini digambarkan sebagai keadaan berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan daripadanya.
Dalam sebagaian rasm Al Quran, terdapat keunikan perubahan penulisan kata permusuhan dengan menggunakan alif menjadi persaudaraan yang ditulis dengan tanpa tambahan alif Ikhwanaa tapi dengan harakat kha dipanjangkan.
Sebagian mufassir melihat bahwa Al Quran seakan-akan hendak menegaskan ketika orang bermusuhan ada alif pemisah di antara mereka, dan saat dia berhasil merubah musuh menjadi saudara maka alif-nya pun kemudian menghilang.
Gambaran dari perubahan ini nampak dalam pada kisah Zaid bin Tsabit. Dahulu di
masa Jahiliyah, suku Aus berbangga dengan tokoh-tokohnya. Mereka berbangga memiliki Huzaimah bin Tsabit yang digelari dengan Shohibu Iman wa Nuraniyy, yang nilai persaksiannya dinilai dobel oleh Rasul.
Mereka juga berbangga memiliki Handzalah bin al-Rahib yang dimandikan Malaikat (Ghasilul Malaikah). Sementara orang-orang Khazraj berbangga dengan Ubay bin Kaab dan Zaid bin Tsabit. Keindahan terjadi saat hati mereka dilunakkan dalam persaudaran.
Zaid Bin Tsabit yang ditugasi mengkodifikasikan Al Quran, tapi hanya akan menulis ayat Allah jika terdapat bukti tertulis dan diteguhkan dengan dua orang saksi. Ketika hendak akan menyalin akhir surat Tawbah, Zaid bin Tsabit telah mendapatkan bukti tertulis tapi tidak didapati dua orang saksi. Huzaimah datang memberikan persaksian, dan sebagaimana Rasul bersabda "Jika Huzaimah bersaksi maka sudah tercukupi." Maka Zaid dari suku Khazraj mendapatkan bantuan dari Huzaimah yang berasal dari suku Aus.
Sungguh menawannya buah dari persaudaraan."
Sungguh menawannya buah dari persaudaraan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar