Rabu, 21 Maret 2018

HIDUP YANG TAK PENUH



Apa konsekuensinya kalau kita menjalani kehidupan hanya berdasarkan hasil refleksi ungkapan orang lain atas diri kita ketimbang menemukan dan mengolah keauntetikan diri sendiri ?

Sebutir telor rajawali ditetaskan bersama-sama dengan telor ayam kampung, setelah menetas rajawali tersebut hidup bersama-sama anak ayam.

Seperti layaknya hewan peliharaan,  mereka berkeliaran di kebun, parit, di luar rumah, mencari cacing, ulat dan sisa-sisa makanan. Sama seperti "saudara"nya yang lain, rajawali itupun tidak bisa terbang, paling-paling hanya berlompat-lompat kecil. yang jelas kehidupan para unggas itu berjalan tentram dan damai sampai akhirnya sang rajawali menjadi tua.

Suatu siang ketika mencari makanan di kebun, matanya tertumbuk pada pemandangan indah di udara, tampak oleh-nya seekor burung gagah perkasa terbang di antara pepohonan. Sayapnya yang berwarna keemasan mengempak-ngepak dengan indahnya.

"Hewan apakah itu ?", Saudaranya sesama menjawab oh itu rajawali, rajanya burung" ujarnya.

(Ilustrasi : Rajawali)

Tetapi tempatnya nun jauh di atas kita, kita sih kaum ayam bisanya ya cuma bisa teker-teker di tanah.

Si rajawali mencari cacing di tanah sampai mati, ia tak menyadari bahwa dirinya bukan ayam kampung.

Inilah hidup pantas kalau W. Hugh. Auden dalam kumpulan esainya the dayres  dren, mengatakan "Citra diri kuciptakan dalam pikiran supaya aku bisa mencintai diriku sendiri. Ternyata berbeda dengan citra yang kuciptakan dalam pikiran orang lain, agar mereka mencintaiku."

Baca Juga :
Terapi Berfikir Positif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar